Home » Tafsir » Kisah al-Qur`an dalam Pandangan al-Jabiri

Kisah al-Qur`an dalam Pandangan al-Jabiri

Download versi pdf

I. Pendahuluan

Perkembangan tafsir di era konptemporer diwarnai kemunculan para pengkaji tafsir dari lulusan fakultas non agama. Di samping para tokoh agama dan lulusan fakultas agama, terdapat sarjana teknik, kedokteran, pendidikan, ahli bahasa dan disiplin lain yang turut andil dalam memperkaya kajian tafsir. Sahrur seorang insiyur Syiria yang menulis al-Kitāb wa al-Qur`an; sayyid qutb lulusan sastra dan pendidikan dari Mesir dengan karyanya fi ilāl al-Qur`an dan Mustafa Mahmud seorang dokter Mesir dengan karyanya al-Qur`an, Muḥāwalat li Fahm ‘Arī adalah sebagian pengkaji tafsir yang berlatar belakang non sarjana agama.

Dari kalangan sarjana filsafat muncul nama Arkoun yang melakukan pembacaan surat al-Fātiah dengan menggunakan pendekatan semantik dalam karyanya al-Qur`an, min al-Tafsīr al-Mawrūth ila Talīl al-Khiṭāb al-Dīnī; al-Jabiri yang melakukan pembacaan kisah al-Qur`an dengan pendekatan kesejerahan dalam karyanya Madkhal ila al-Qur`an al-Karīm. Kedua pemikir ini kerap dilabeli sekuler dan pemikiran-pemikirannya sering menimbulkan kegaduhan intelektual.

Di antara sekian kajian tafsir dari kalangan non sarjana agama, karya al-Jabiri dapat dikategorikan sebagai upaya menemukan metode baru dalam memahami kisah al-Qur`an. Ia melakukan pembacaan kisah al-Qur`an sesuai dengan fase sejarahnya. Mengacu kepada adagium yang dipopulerkan Imam Malik bin Anas bahwa setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam, maka mengkaji pemikian al-Jabiri adalah bagian dari upaya mendapatkan gagasan positif yang telah dihasilkannya.

Makalah ini akan melakukan kajian kritis dan obyektif terhadap metode pembacaan kisah al-Qur`an versi al-Jabiri dalam Madkhal ila al-Qur`an al-Karīm. Bagian utama makalah ini terdiri dari tiga sub pembahasan. (1) Landasan teoritis al-Jabiri dalam membaca kisah al-Qur`an (2) Genealogi metode pembacaan kisah al-Qur`an versi Al-Jabiri. (3) Kelebihan dan kekurangan Metode al-Jabiri. Wa Allah al-Must;ān.

II. Al-Jabiri dan Metode Pembacaan Kisah al-Qur`an

Madkhal ila al-Qur`an al-Karīm, al-Juz`u al-Awwal, fi al-Ta’rīf bi al-Qur`an diterbitkan pertama kali tahun 2006 oleh Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-‘Arabiyyah, Beirut. Di sampul belakang terera informasi singkat tentang penulis sebagai berikut: Dr. Muhammad Abid al-Jabiri lahir pada tahun 1936 dan meraih gelar doktor filsafat tahun 1970 dari fakultas sastra di Rabat.

Lima postulat dalam kajian kisah al-Qur`an

Dalam bab ketiga buku ini, al-Jabiri mengemukakan pandangannya tentang kisah al-Qur`an. Ia mengawli pembahasannya dengan menyebutkan lima postulat yang menjadi kekhasan kajiannya terhadap kisah al-Qur`an. Pertama, kisah al-Qur`an dipandang sebagai perumpamaan. Menurutnya, kisah al-Qur`an dituturkan bukan untuk kepentingan kisah itu sendiri, melainkan untuk tujuan dakwah. Oleh karena itu kisah al-Qur`an tidak dituturkan sesuai urutan waktu kisah itu sendiri, melainkan berdasarkan urutan fase dakwah Nabi Muhammad alla Allah ‘Alaihy wa Sallam[1].

Dalam perumpaan, kesesuaian kisah dengan fakta bukanlah hal yang dipersoalkan. Kebenaran perumpaan, demikian pula kisah al-Qur`an, tidak didasarkan pada kesesuaiannya dengan fakta sejarah, melainkan pada efektifitasnya dalam mempengaruhi pendengar. “Jika kita mengagumi dan dipengaruhi oleh sebuah perumpamaan, maka perumpamaan itu benar menurut kita. Sedangkan kebenaran kisah itu sendiri bukanlah hal yang dipersoalkan sepanjang ia mampu memberikan kesan yang terekspresikan dalam bentuk kekaguman dan pembenaran”[2].

Al-Jabiri tidak mengajukan argumen atas gagasannya yang menyamakan kisah al-Qur`an dengan perumpamaan, selain menyebut ayat al-Qur`an yang mempersandingkan perumpaan dengan kisah. Ia mengatakan bahwa kesamaan kisah al-Qur`an dengan perumpamaan diperkuat oleh kebersandingan perumpamaan dan kisah dalam banyak ayat al-Qur`an, seperti Firman Allah:

فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (الاعراف: 176)

Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir[3].

Intinya, perumpamaan dan kisah al-Qur`an memiliki tujuan yang sama[4].

Kedua, al-Jabiri membatasi kajiannya hanya pada informasi yang diberikan al-Qur`an. Ia mengatakan, “kajian ini tidak hendak, bahkan tidak ingin pula, menyempurnkan atau menafsirkan kisah berdasarkan informasi isrā`iliyyāt atau informasi lain, seperti teks kitab suci agama Yahudi atau Nasrani ataupun informasi dari warisan budaya kuno”[5]. Sebab, menurutnya, kisah-kisah yang dituturkan kitab suci lain dimaksudkan sebagai penuturan sejarah, sementara kisah al-Qur`an dimaksudkan sebagai nasihat dan pelajaran. Perhatian utama al-Qur`an adalah pelajaran apa yang bisa dipetik dari suatu kisah untuk mendukung dakwah Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam di masa kini dan dakwah umatnya di masa mendatang.

Tetapi dalam catatan kakinya, ia menjelaskan bahwa adakalanya sumber informasi di luar al-Qur`an dikutip dalam kajiannya sebagai penjelas suatu kata atau permasalahan, bukan karena informasi itu benar, melainkan karena informasi itu merefleksikan pemahaman orang Arab terhadap kata atau permasalahan tersebut[6]. Ia juga menyatakan bahwa ia mengutip Taurat agar pembaca dapat melihat langsung perbedaan kisah al-Qur`an dan hubungannya dengan dakwah Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam dari kisah Taurat dan hubungannya dengan Bani Israil.[7]

Ketiga, kajian al-Jabiri tidak akan membahas persoalan yang banyak menyita perhatian para pengkaji moderen, yaitu hubungan antara kisah al-Qur`an dengan fakta sejarah. Al-Jabiri menegaskan bahwa al-Qur`an bukanlah buku tentang seni berkisah, dalam pengertian kesenian moderen, bukan pula buku tentang sejarah dalam pengertian moderennya. Al-Qur`an adalah Kitab tentang dakwah agama. Mengingat bahwa kisah al-Qur`an dimaksudkan sebagai perumpamaan untuk diambil pelajaran, maka menjadi tidak penting membicarakan fakta sejarah. Di sisi lain al-Jabiri mengakui bahwa kisah al-Qur`an bukan cerita fiktif, melainkan penuturan fakta sejarah yang berada dalam jangkauan pengetahuan orang Arab[8].

Perlu dicermati bahwa kata sejarah ditulis dalam tanda kutip (“sejarah”). Pengertian fakta sejarah yang dimaksud al-Jabiri bukanlah fakta sejarah seperti kejadian yang sesungguhnya,  melainkan kisah-kisah yang telah diketahui orang Arab sebelum dituturkan al-Qur`an. Dengan kata lain al-Jabiri konsisten mengatakan bahwa kisah al-Qur`an tidak harus sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya.

Al-Jabiri meyakini bahwa kisah-kisah yang dituturkan al-Qur`an telah dikenal orang Arab sebelum al-Quran diturunkan. Sebab, menurutnya, tidak semua orang Arab buta huruf. Di antara mereka terdapat kelompok Yahudi dan Nasrani di Makkah, Yathrib, wilayah utara, timur dan barat semenanjung Arab serta ahli nasab dan ahli cerita. Dan mereka semua telah mengenal kisah-kisah yang tertulis di dalam Taurat maupun yang dikenal dari warisan budaya lama. Sehingga kisah tentang nabi Nuh, Fir’aun, badai topan, yang terdapat dalam Taurat, maupun kisah kaum ‘Ād dan Thamūd yang tidak terdapat di dalam Taurat, telah dikenal dalam kebudayaan dan pemikiran orang Arab [9].

Apa yang ingin ditegaskan al-Jabiri di sini adalah bahwa kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur`an merupakan cerita yang telah dikenal luas di kalangan masayarakat Arab, tanpa memandang kesesuaiannya dengan fakta sejarah. Sayang, al-Jabiri mengungkapkan gagasannya begitu saja tanpa mengajukan bukti atas kebenaran klaim bahwa seluruh kisah-kisah al-Qur`an telah dikenal luas masyarakat Arab saat itu. Seolah-olah ia menganggap bahwa kebenaran klaimnya bersifat aksiomatis.

Namun demikian pernyataan al-Jabiri selanjutnya dapat dikatakan sebagai upaya pembuktian, meskipun bersifat parsial. Ia mengatakan, “ kebanyakan peristiwa sejarah tentang Bani Israil yang dituturkan al-Qur`an bersesuaian dengan apa yang di sebutkan Taurat dan Injil[10]. Al-Jabiri juga mengutip pendapat al-Qurtubi yang menyatakan, “kisah kaum ‘Ād dan Thamūd sudah dikenal di kalangan Quraisy, sebab mereka dulunya memang menghuni tanah Arab. Bahkan kamar Thamūd masih ada sampai masa kita (masa al-Qurtubi)…”[11]. Tetapi apa yang dikemukakan al-Jabiri tidak membuktikan bahwa seluruh cerita dalam al-Qur`an sudah diketahui sebelumnya oleh orang-orang Arab.

Sekali lagi al-Jabiri menyebut peristiwa sejarah dengan menggunakan tanda kutip (“peristiwa sejarah”), hal mana mengindikasikan konsistensinya bahwa kisah al-Qur`an tidak harus bersesuaian dengan fakta sejarah sesungguhnya.

Keempat, kajian kisah al-Qur`an dilakukan sesuai urutan turunnya ayat, bukan urutan mushaf. Al-Jabiri beralasan bahwa jika kajian dilakuan berdasarkan urutan mushaf, maka pengkaji akan terjebak pada kajian sejarah yang mementingkan logika urutan waktu peristiwa, bukan logika kisah al-Qur`an, yaitu perjalanan dakwah Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Padahal seperti dikemukakan di atas, al-Qur`an bukan buku cerita, melainkan Kitab dakwah agama yang menggunakan cerita untuk tujuan dakwah[12].

Menurutnya, tujuan kajian kisah al-Qur`an adalah menelusuri kesejajaran perkembangan kisah dengan perjalanan dakwah Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Di sisi lain, kajian al-Jabiri juga dimaksudkan untuk melihat cara yang digunakan al-Qur`an dalam memerankan kisah sebagai pendekatan dakwah. Masih menurut al-Jabiri, masa kini kisah al-Qur`an sejajar dengan masa kini perjalanan dakwah Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam dari sudut pandang perjuangan para nabi dalam menyampaikan risalahnya[13].

Kelima, al-Jabiri melakukan kategorisasi kisah berdasarkan tujuan dan fase. Berdasarkan tujuannya, al-Jabiri membagi kisah al-Qur`an ke dalam tiga kategori. (1) Kisah-kisah yang dimaksudkan untuk mengancam dan memperingatkan orang-orang yang mendustakan rasulnya. Titik tekan cerita kategori 1 adalah nasib orang-orang yang mendustakan rasulnya. Kebanyakan materi ceritanya berupa kisah-kisah “penduduk desa” (ahl al-Qurā) yang tidak ditemukan di dalam Taurat maupun Injil. (2) Kisah-kisah yang dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran para rasul. Titik tekan cerita adalah pujian, penghormatan dan mukjizat para Nabi. Kebanyakan materi ceritanya berupa kisah nabi-nabi Bani Israil. (3) Kisah-kisah yang dimaksudkan untuk mendebat kesesatan Yahudi dan Nasrani. Kisah-kisah ini menuturkan kesesatan, penyelewengan dan pembangkangan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap nabinya. Kategori 3 hanya terdapat dalam surat madaniyah[14].

Berdasarkan fase turunnya ayat, al-Jabiri membagi kisah-kisah al-Qur`an juga dalam tiga kategori. (1) Fase Makkiyah I yang dimulai dari surat al-Fajr dengan nomor urut 10 sampai dengan surat al-Qamar dengan nomor urut 37. (2) Fase Makkiyyah II, yang dimulai dari surat Ṣād dengan nomor urut 38 sampai dengan surat al-‘Ankabūt dengan nomor urut 85. (3) Fase Madaniyah yang dimulai dari Hijrah hingga Wafatnya Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Urutan surat di atas, sebagaimana disebutkan al-Jabiri, mengacu kepada urutan yang digunakan di Al-Azhar[15].

Al-Jabiri menambahkan bahwa pola penelusuran pada fase Makkiyah I berbeda dari fase Makkiyah II. Tiap kisah pada fase Makkiyah I akan ditampilkan sesuai urutan surat. Sedangkan pada fase Makkiyyah II, surat al-`A’rāf  akan dijadikan induk kisah, yang kemudian ditelusuri keberadaannya dalam surat lain sesuai urutan surat[16].

III. Genealogi Pemikiran

Terdapat empat nama yang dapat dikaitkan dengan pemikiran al-Jabiri tentang kisah al-Qur`an, yaitu: Muhammad Abduh, Thaha Husain, Muhammad Izzat Darwazah dan Muhammad Ahmad Khalafullah.

Dalam Tafsīr al-Manār Abduh berulang-ulang menyampaikan bahwa Kisah-kisah yang terdapat al-Qur’an tidak dimaksudkan sebagai penuturan sejarah, melainkan bertujuan untuk memberikan pelajaran dan petunjuk. Ia katakan, “ Telah aku jelaskan lebih dari sekali bahwa kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur`an dimaksudkan sebagai nasihat dan agar diambil pelajaran, bukan untuk menjelaskan sejarah ataupun agar diyakini detail ceritanya… cerita al-Qur`an tidak melampaui bagian-bagian yang menjadi pelajaran dan petunjuk”[17].

Lebih dari itu Abduh juga menyatakan bahwa bahasa cerita tidak selalu mencerminkan fakta yang sesunggunya. Ia katakan, “Terkadang di dalam penceritaan digunakan ungkapan-ungkapan yang biasa digunakan pendengar ataupun obyek yang diceritakan, meskipun ungkapan itu sejatinya tidak benar (tidak sesuai kenyataan)”[18]. Abduh juga mengutip Ibnu Kathir yang meriwayatkan pendapat Atha` bahwa cerita tentang orang-orang yang keluar dari kampung halamannya karena takut kematian (al-Baqarah:243) adalah perumpamaan, bukan kisah nyata[19]. Bahkan dengan tegas Rasyid ridla mengamini pendapat gurunya dengan mengatakan, “Cerita yang menggunakan ungkapan seperti ini (الم تر) tidak disyaratkan harus benar-benar terjadi. Ungakpan semacam itu bisa saja terjadi pada cerita perumpamaan”[20].

Pendapat Abduh juga terlihat dari penafsiran kisah Nabi Adam Alayhi al-Salām. Kebersujudan malaikat kepada Adam Alayhi al-Salām diartikan secara metaforis sebagai potensi manusia yang diberikan Allah dalam menaklukkan alam. Sementara malaikat diartikan seabgai kekuatan baik dan Iblis seabgai kekuatan jahat. Menurutnya, “jika seseorang cenderung menerima penafsiran ini, maka ia tidak akan mendapati di dalam agama hal yang mencegahnya dari kecenderungan tersebut”[21]. Dengan kata lain kisah Nabi Adam bisa ditafsirkan secara metaaforis dan bukan sebagai sebuah fakta sejarah.

Taha Husain melangkah lebih jauh. Ia menyebut bahwa kisah Ibrahim dan Ismai’il bukanlah fakta sejarah. Ia mengatakan, “ Taurat bisa saja bercerita tentang Ibrahim dan Ismail, dan al-Qur`an juga menceritakannya. Tapi keberadaan nama tersebut dalam Taurat dan al-Qur`an tidak cukup membuktikan keberadaan sejarahnya”[22].

Hal yang sama juga dilakukan Muhammad Ahmad Khalafullah. Ia mengatakan bahwa keberadaan sebuah cerita di dalam al-Qur`an tidak berarti cerita itu benar-benar terjadi. Ia mengatakan, “jelaslah bagi nalar Islam bahwa semua ini (kisah-kisah), sebagai fakta sejarah kecuali dengan penafsiran”[23].

Di samping itu, Khalafullah juga menekankan pentingnya kajian kisah al-Qur`an dengan menggunakan urutan turunnya ayat. Model yang sama juga diterapkan Muhammad Izzat Darwazah dalam tafsirnya. Darwazah memulai tafsirnya dari surat al-Fatihah, disusul Iqra,  dan demikian seterusnya hingga akhir al-Qur`an sesuai dengan urutan turunnya ayat.

Model paralesasi antara turunyya al-Qur`an dengan fase sejarah dakwah pernah dikemukakan Darwazah dengan bahasa yang berbeda. Darwazah berpendapat bahwa cara terbaik memahami al-qur`an adalah dengan memperhatikan paralelisasi turunya al-Qur`an dengan fase-fase sejarah kenabian. Menurutnya setiap surat, atau sekelompok ayat dari satu surat menggambarkan penyikapan Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam terhadap lingkungan dan masyarakatnya[24]. Ia juga menegaskan adanya keterkaitan erat antara tradisi, nilai dan pengetahuan di lingkungan Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam saat itu dengan turunnya al-Qur`an[25]. Keterkaitan itu juga terjadi dalam bahasa. Menurutnya, bahasa al-Qur`an adalah bahasa lingkungan nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam, yang familiar dan dipahami masayarkatnya dengan sempurna[26].

Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa pemikiran al-Jabiri bertemu nasab ideologisnya dengan para pendahulunya. Gagasannya bahwa kisah al-Qur`an dimaksudakan agar diambil sebagai pelajaran bertemu nasab ideologisnya dengan pemikiran Abduh, dan Khalafullah. Klaimnya bahwa kisah al-Qur`an bukan fakta sejarah telah dimulai oleh Abduh dan disempurnakan Taha Husain dan Khalafullah. Model kajiannya dengan menggunakan urutan turunnya ayat memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan Khalafullah dan Darwazah.

Bahkan jika dirunut lebih jauh, problematika kisah al-Qur`an, apakah ia fakta sejarah atau sekedar perumpaan yang tidak memiliki wujud sejarah, telah dibicarakan para mufassir klasik, seperti pendapat Atha’ yang diriwayatkan Ibnu Kathir.

IV. Kontroversi dan Nilai Plus Gagasan al-Jabiri

Pendapat al-Jabiri memunculkan beragam tanggapan. Salah satunya adalah apa yang ditulis Abdussalam al-Bakkari dan Shadiq Baw’alam dalam al-Shubah al-Istishrāqiyah fi Kitāb Madkhal ila al-Qur`an al-Karīm. Beberapa pendapat yang dianggap menyimpang dari ajaran islam adalah: (1) Bahwa kisah dalam al-Qur`an tidak dilihat kebenarannya dari segi kesesuaiannya dengan realitas sejarah, (2) Penuturan al-Qur`an dengan menggunakan urutan turunnya ayat.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pendapat pertama pernah disampaikan Atha` terkait kisah orang-orang yang keluar dari kampung halamannya karena takut kematian (al-Baqarah: 243) sebagaimana diriwyatkan Ibnu kathir. Namun demikian tidak benar pula jika seluruh kisah al-Qur`an dianggap fikitif. Sangat sulit diterima bahwa kisah pasukan gajah dalam surat al-fīl adalah perumpamaan belaka, dan tidak memiliki wujud sejarahnya. Sebab berdasarkan konteks kalimat tidak mungkin cerita itu diartikan selain sebagai sebuah peristiwa yang benar-benar terjadi. Dalam awal surat diebutkan, “tidakkah kamu tahu bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap pasukan gajah” . Jika tindakan Tuhan adalah sesuatu yang nyata, maka tidak mungkin obyek dari tindakan tuhan hanyalah perumpamaan atau sesuatu yang tidak ada.  Sebab, obyek dari suatu tindakan pasti sesuatu yang ada.

Dengan demikian pendapat yang tepat adalah bahwa di dalam al-Qur`an terdapat kisah yang nyata dan terdapat pula kisah yang hanya sekedar perumpamaan. Dan menyebut kisah al-Qur`an sebagai perumpamaan tidak dapat disebut sebagai penyimpangan agama, sebagaimana dikatakan Abduh di atas, juga di antaranya pendapat yang dipilih Atha’. Sebuah kisah dituturkan untuk dijadikan sebagai pelajaran bukan untuk diyakini sebagai sebuah keimanan. Tetapi untuk mengatakan bahwa sebuah kisah dalam al-Qur`an hanyalah perumpamaan perlu argumen yang meyakinkan.

Penuturan al-Qur’an sesuai urutan turunnya ayat juga bukan hal yang dilarang agama. Semula darwazah merasa tidak nyaman dengan tafsir yang akan disusunnya sesuai dengan urutan turunnya ayat. Kemudian ia meminta fatawa dari Abul Yusri, Mufti Siria dan Abdul Fatah, salah satu calon mufti Alepo saat itu, tentang model tafsir yang menggunakan urutan turunnya ayat, dan bukan urutan mushaf. Kedua mufti tersebut membenarkan apa yang dilakukan Izzat[27].

Terlepas dari pro dan kontra, gagasan al-Jabiri menawarkan model baru dalam kajian kisah al-Qur`an. Sesuai dengan tujuannya sebagai pembelajaran, maka kajian kisah al-Qur`an seharusnya ditekankan pada penggalian nilai-nilai pembelajaran. Model semacam ini juga menghindarkan kajian dari perdebatan pada persoalan remeh temeh yang tidak menjadi tujuan utama kisah al-Qur`an, seperti penentuan tempat, lokasi dan tokoh dalam sebuah cerita.

 Perubahan pola penuturan kisah yang direkam al-Jabiri juga bisa menjadi sumbangan bagi dunia akademis dalam memahami pola komunikasi dakwah. Pararelisasi yang dilakukan al-Jabiri memberikan gambaran bagaimana komunikasi dakwah itu bermula, berkembang dan menjadi matang. Pemetaan fase dan kategorisasi kisah yang ditawarkan al-Jabiri juga dapat menjadi alternatif pendekatan dalam kajian kisah al-Qur`an.

V. Kesimpulan

Dalam Madkhal Ila al-Qur`an al-Karīm al-Jabiri mencoba melakukan terobosan baru dalam kajian kisah al-Qur`an. Kajian al-Jabiri didasarkan pada lima postulat. (1) Kisah al-Qur’an diposisikan sebagai perumpamaan dan bukan realitas sejarah. (2) Penggalan-penggalan kisah tidak perlu dikaitkan dengan penggalan lain di surat lain atau bahkan ditafsirkan dengan informasi Isra’iliyyat. (3) Kajian kisah al-Qur`an tidak perlu mempedebatkan kebenaran fakta sejarahnya. (4) Kajian kisah al-Qur`an disusun sesuai dengan turunnya ayat, bukan urutan mushaf. (5) Pemetaan fase-fase turunnya al-Qur`an dan kategorisasi kisah untuk mendapatkan paralelisasi fase dakwah Islam dengan turunnya ayat.

Sesungguhnya gagasan al-Jabiri bukan hal baru. Gagasan tentang al-Qur`an sebagai perumpamaan dapat dilacak dalam pendapat Muhammad Abduh dan Muhammad Ahmad Khalafullah. Bahkan gagasan ini sudah pernah disampaikan Atha’. Kajian dengan menggunakan susunan al-Quran sesuai turunnya ayat memiliki kesamaan dengan apa yang digagas Khlafullah dan Darwazah. Dan paralelisasi fase dekwah dengan turunnya al-Qur`an pernah disampaikan Darwazah.

Secra obyektif gagasan al-Jabiri yang mengatakan bahwa seluruh kisah al-Qur`an tidak nyata tidak dapat dibenarkan. Sebab ada kisah-kisah yang tidak mungkin ditafsirkan selain sebagai kisah nyata, seperti kisah pasukan gajah dalam surat al-Fīl, ada pula yang berupa perumpamaan seperti pendapat Atha’ tetang kisah yang terdapat dalam al-Baqarah 243. Namun demkian, terlalu gegabah menganggap pendapat itu telah menyimpang dari ajaran agama. Sebab, kisah al-Qur`an dituturkan bukan untuk diyakini sebagai keimanan.

Di luar kontroversi dan kesalahannya, kajian al-Jabiri yang mencatat perubahan pola penuturan kisah serta pemetaan fase dan kategorisasi kisah, dapat menjadi sumbangan berharga bagi kajian ilmiah, terutama di bidang dakwah.©2013.

Bibliografi

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press, 1989), 251

Husain, Taha, Fi al-Shi’r al-Jāhilī, Tunisia: Dār al-Ma’ārif,

Ibnu Kathir, Abu al-Fida`, Tafsīr al-Qur`an al-Aẓīm, Beirut, Dār al-Kutub al-;Arabiyyah, 1419 H

Izzat Darwazah, Muhammad, al-Tafsīr al-Ḥadīth, Cairo, Dār Iḥyā` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1383 H

al-Jabiri, Muhammad Abid, Madkhal ila al-Qur`an al-Karīm, al-Juz`u al-Awwal, fi al-Ta’rīf bi al-Qur`an, Beirut, Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-‘Arabiyyah, 2006

Khalafullah, Muhammad Ahmad, al-Fann a;-Qaṣaṣī fi al-Qur`an al-Karīm, Beirut, Sīna li al-Nashr, 1999

al-Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Shamsuddin, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`an, Cairo, Dār al-Kutub al-Maṣriyah, 1964

Ridla, Muhamad Rasyid bin Ali, Tafsīr al-Manār, Cairo, al-Hay`ah al-‘Āmmah al-Masriyah li al-Kitāb, 1990

 


[1] Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur`an al-Karīm, al-Juz`u al-Awwal, fi al-Ta’rīf bi al-Qur`an, (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-‘Arabiyyah, 2006), 257.

[2] Ibid, 258.

[3][3] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press, 1989), 251

[4] Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur`an al-Karīm, 258.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid, 259

[8] Ibid

[9] Ibid.

[10] Ibid, 260.

[11] Ibid, 264. Lihat pula Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Shamsuddin al-Qurtubi, al-Jāmi’ li Akām al-Qur`an, (Cairo: Dār al-Kutub al-Maṣriyah, 1964), 20:44.

[12] Ibid.

[13] Ibid, 261.

[14] Ibid.

[15] Ibid, 262

[16] Ibid.

[17] Muhamad Rasyid bin Ali Ridla, Tafsīr al-Manār, (Cairo: al-Hay`ah al-‘Āmmah al-Masriyah li al-Kitāb, 1990), 1:330.

[18] Ibid.

[19] Ibid, 2:362. Lihat pula Abu al-Fida` Ibnu Kathir, Tafsīr al-Qur`an al-Aẓīm, (Beirut: Dār al-Kutub al-;Arabiyyah, 1419 H), 1:502.

[20] Ibid.

[21] Ibid, 1:244.

[22] Taha Husain, Fi al-Shi’r al-Jāhilī, (Tunisia: Dār al-Ma’ārif, ), 38

[23] Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann a;-Qaṣaṣī fi al-Qur`an al-Karīm, (Beirut: Sīna li al-Nashr, 1999),68

[24] Muhammad Izzat Darwazah, al-Tafsīr al-adīth, (Cairo: Dār Iḥyā` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1383 H.), 1: 9,142.

[25] Ibid 1:144.

[26] Ibid, 1:147.

[27] Ibid, 1:10.


Tinggalkan Pesan