Home » Fikih » Jual Beli Tebasan dan Permasalahannya

Jual Beli Tebasan dan Permasalahannya

Download versi pdf

Di kalangan petani lazim dikenal penjualan hasil penen dengan cara tebasan. Dari tinjauan bahasa, tebasan adalah pembelian hasil tanaman sebelum dipetik. Dalam praktik, tebasan dilakukan, biasanya oleh tengkulak, dengan cara membeli hasil pertanian atau perkebunan sebelum masa penen. Pengertian membeli dalam hal ini bisa diartikan dua hal.

Pertama, tengkulak benar-benar melakukan transaksi jual-beli dengan petani pada saat biji tanaman atau buah dari pohon sudah tampak tetapi belum layak panen. Setelah transaksi, tengkulak tidak langsung memanen biji atau buah tersebut, melainkan menunggu hingga biji atau buah sudah layak panen. Dan pada saat itulah tengkulak baru mengambil biji atau buah yang sudah dibelinya. Contoh kasus: seorang tengkulak mendatangi petani pada saat tanaman padi sudah mengeluarkan bulirnya tetapi belum berisi, atau sudah berisi tetapi belum cukup keras untuk bisa dipanen. Setelah bernegosiasi akhirnya tengkulak dan petani sepakat untuk mengadakan transaki jual-beli tanaman padi seluas sekian hektar dengan harga sekian juta rupiah. Dengan atau tanpa diucapkan dalam transaksi, kedua belah pihak telah memiliki kesepahaman bahwa padi baru diambil si tengkulak setelah layak panen. Kesepahaman ini muncul karena tradisi atau karena harga yang disepakati mengindikasikan bahwa si tengkulak memang bermaksud membeli gabah dan bukan batang padi (jawa:dami).

Kedua, tengkulak membeli dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai uang muka (jawa:panjer). Jika kelak barang jadi diambil maka uang yang diserahkan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran, dan jika tidak jadi diambil, maka uang itu hangus. Panjer dalam hal ini berfungsi sebagai pengikat bagi si petani, dalam pengertian bahwa si petani tidak boleh menjual hasil panennya kepada orang lain.

Ditinjau dari sudut prinsip-prinsip muamalah dalam Islam, transaksi tersebut diatas mengandung beberapa kemungkinan fasad. Pertama, buah yang masih di atas pohon atau padi yang masih berada di tangkainya tidak diketahui jumlahnya. Dengan demikian dalam transaksi tersebut mabi’ dijual tanpa takaran (jizaf).

Kedua, jika buah atau padi sudah dibeli tetapi masih dibiarkan, dan karenanya masih memanfaatkan pohon atau tanah petani, maka memungkinkan terjadinya shofqotain fi shofqotin wahid[1] atau bai’  bi sayrtin jaraa naf’an[2].

Ketiga, jika tebasan dilakukan dengan cara barter dengan komoditas sejenis, seperti padi ditukar dengan gabah, maka akan terjadi riba fadl.

Keempat, jikajual tebas dilakukan dengan modus kedua, di mana pembeli telah menyerahkan uang muka sebagai pengikat, maka akan terjadi mukhotoroh  atau memungut harta orang lain tanpa imbalan.

Lalu, bagaimanakah pandangan ulama terhadap jual beli tebasan?

Dalil Jual Beli Tebasan dari Hadis

Jual beli tebasan bukanlah fenomena baru. Sejak awal Islam, jual beli tebasan telah dilakukan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika jual beli tebasan banyak disinggung dalam Hadis.

Al-Bukhory menuturkan Hadis-Hadis yang terkait dengan jual tebasan dimulai dari larangan muzabanah:

بَاب بَيْعِ الْمُزَابَنَةِ وَهِيَ بَيْعُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ وَبَيْعُ الزَّبِيبِ بِالْكَرْمِ وَبَيْعُ الْعَرَايَا قَالَ أَنَسٌ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُزَابَنَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ

Kemudian dalam salah satu Hadis disebutkan bahwa salah satu penafsiran muzabanah adalah menjual buah kurma yang masih di pohon dengan kurma kering.

2037 – حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ مَوْلَى ابْنِ أَبِي أَحْمَدَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُزَابَنَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةُ اشْتِرَاءُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ فِي رُءُوسِ النَّخْلِ

Terlepas dari apakah penafsiran muzabanah yang saya garis bawahi dalam Hadis tersebut merupakan penafsiran langsung dari Nabi atau dari Sahabat atau bahkan dari perawi, setidaknya dapat digambarkan bahwa para ulama terdahulu telah membicarakan hukum jual beli buah yang masih di atas pohon.

Pada bab selanjutnya, yang diberi judul “jual-beli kurma basah yang masih di atas pohon dengan emas dan perak”, al-Bukhory menuturkan:

بَاب بَيْعِ الثَّمَرِ عَلَى رُءُوسِ النَّخْلِ بِالذَّهَبِ أَوْ الْفِضَّةِ

2040 – حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ وَأَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَطِيبَ وَلَا يُبَاعُ شَيْءٌ مِنْهُ إِلَّا بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ إِلَّا الْعَرَايَا

Dari Hadis ini sesuai dengan judul bab yang disampaikan al-Bukhory, dapat dicatat bahwa al-Bukhori mengartikan بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَطِيبَ sebagai penjualan buah yang belum masak dan masih di atas pohon. Tentang hal ini Badrul Aini dalam Umdatul Qory Sayrh Shohih al-Bukhory mengatakan:

المراد من قوله بيع الثمر أي الثمر الكائن على رؤس الشجر يدل عليه قوله حتى يطيب فإن الثمر الذي هو الرطب لا يطيب إلا على رؤس الشجر

Dan dalam bab selanjutnya al-Bukhory menuturkan beberpa Hadis yang terkait penjualan buah sebelum “masak” (بدو الصلاح). Setidaknya ada empat redaksi Hadis yang kemudian menjadi pangkal perbedaan ulama tentang hukum jual beli buah atau tanaman yang belum “layak petik”.

Mula-mula al-Bukhory membuat bab dengan judul “”بيع الثمار قبل بدو الصلاح (Jual-Beli Buah Sebelum Masak). Ibnu Hajar dalam Fathul Bary memberikan komentar bahwa al-Bukhory tidak menggunakan redaksi yang mengindikasikan kepastian hukum jual-beli buah sebelum masak, karena adanya perbedaan pendapat yang kuat tentang masalah ini.

Hadis pertama dalam bab ini disebutkan al-Bukhory secara mu’allaq, yaitu:

وَقَالَ اللَّيْثُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ كَانَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ يُحَدِّثُ عَنْ سَهْلِ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ مِنْ بَنِي حَارِثَةَ أَنَّهُ حَدَّثَهُ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَبَايَعُونَ الثِّمَارَ فَإِذَا جَدَّ النَّاسُ وَحَضَرَ تَقَاضِيهِمْ قَالَ الْمُبْتَاعُ إِنَّهُ أَصَابَ الثَّمَرَ الدُّمَانُ أَصَابَهُ مُرَاضٌ أَصَابَهُ قُشَامٌ عَاهَاتٌ يَحْتَجُّونَ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا كَثُرَتْ عِنْدَهُ الْخُصُومَةُ فِي ذَلِكَ فَإِمَّا لَا فَلَا تَتَبَايَعُوا حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُ الثَّمَرِ كَالْمَشُورَةِ يُشِيرُ بِهَا لِكَثْرَةِ خُصُومَتِهِمْ وَأَخْبَرَنِي خَارِجَةُ بْنُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ لَمْ يَكُنْ يَبِيعُ ثِمَارَ أَرْضِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الثُّرَيَّا فَيَتَبَيَّنَ الْأَصْفَرُ مِنْ الْأَحْمَرِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ رَوَاهُ عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ حَدَّثَنَا حَكَّامٌ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ عَنْ زَكَرِيَّاءَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ سَهْلٍ عَنْ زَيْدٍ

Hadis ini juga diriwayatkan secara maushul oleh Abu Daud (Abu Daud:2928). Sehingga, meskipun mu’allaq dalam riwayat al-Bukhory, redaksi Hadis ini shohih berdasarkan riwayat Abu Daud. Hadis ini disamping menyebutkan larangan jual-beli buah sebelum masak juga menuturkan latar belakang larangan. Dan Hadis inilah yang dijadikan salah satu dasar oleh para ulama dalam memperbolehkan jual-beli buah sebelum masak.

Redaksi Hadis kedua adalah beberapa Hadis yang menyebutkan larangan jual-beli buah sebelum masak. Salah satunya adalah :

2044 – حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ (البخاري)

Hadis ini secara eksplisit dan tegas meceritakan larangan jual-beli buah sebelum masak dan bahwa larangan ini berlaku bagi penjual maupun pembeli. Dan Hadis inilah yang menjadi dasar pelarangan jual-beli buah sebelum masak.

Dua bab berikutnya al-Bukhory membuat judul bab, “بَاب إِذَا بَاعَ الثِّمَارَ قَبْلَ أَنْ يَبْدُوَ صَلَاحُهَا ثُمَّ أَصَابَتْهُ عَاهَةٌ فَهُوَ مِنْ الْبَائِعِ “. Tentang judul bab ini  Ibnu Hajar dalam Fathul Bary berkomentar bahwa al-Bukhory condong kepada pendapat yang memperbolehkan jual-beli buah sebelum masak. Dan satu-satunya Hadis yang diangkat dalam bab ini adalah :

2048 – حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تُزْهِيَ فَقِيلَ لَهُ وَمَا تُزْهِي قَالَ حَتَّى تَحْمَرَّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ بِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ قَالَ اللَّيْثُ حَدَّثَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ ثَمَرًا قَبْلَ أَنْ يَبْدُوَ صَلَاحُهُ ثُمَّ أَصَابَتْهُ عَاهَةٌ كَانَ مَا أَصَابَهُ عَلَى رَبِّهِ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَتَبَايَعُوا الثَّمَرَ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا وَلَا تَبِيعُوا الثَّمَرَ بِالتَّمْرِ (البخاري)

Dan tiga bab setelah Hadis ini al-Bukhory mengkat dua Hadis di bawah judul bab “بَاب مَنْ بَاعَ نَخْلًا قَدْ أُبِّرَتْ أَوْ أَرْضًا مَزْرُوعَةً أَوْ بِإِجَارَةٍ. Salah satunya adalah:

2052- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ بَاعَ نَخْلًا قَدْ أُبِّرَتْ فَثَمَرُهَا لِلْبَائِعِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ (البخاري)

Dan Hadis ini juga menjadi dasar bagi sebagian ulama dalam memperbolehkan jual-beli buah sebelum masak.

Empat Hadis inilah yang menjadi dalil pokok para ulama dalam memutuskan persoalan jual-beli buah sebelum masak.

Pendapat Ulama Tentang Jual Beli Tebasan

Jual tebasan berdasarkan kondisi tanaman atau buahnya diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, buah atau bulir padi belum terlihat. Untuk klasifikasi pertama, ulama sepakat bahwa menjual buah atau tanaman yang belum terlihat hukumnya haram dan tidak sah. Sebab, jual beli tersebut termasuk menjual sesuatu yang tidak ada (بيع المعدوم).

Kedua, buah atau bulir padi sudah terlihat dan sudah layak panen. Dalam kondisi seperti ini hanafiah memperbolehkan sepanjang tidak ada syarat, buah atau padi tetap dibiarkan pada pohonnya atau tanamannya (syart tabqiyah). Sebab syarat tersebut tidak sejalan dengan kepentingan transaksi dan syarat tersebut memberikan keuntungan salah satu pihak yang bertransaksi. Dengan demikian jika penjualan dilakukan tanpa syarat atau dengan syarat, pohon atau padi dipanen (syartul qoth’i), maka hukumnya boleh.

Sedangkan menurut malikiyah, syafi’iyyah dan hanabilah, penjualan buah atau padi yang belum layak panen diperbolehkan, baik dengan syarat tabqiyah atau qoth’I ataupun tanpa syarat.

Ketiga, buah atau bulir padi sudah terlihat tetapi belum layak panen. Untuk klasifikasi ketiga, jika penjualan dilakukan dengan syarat qoth’i, maka ulama sepakat memperbolehkan. Dalam kasus penjualan dilakukan dengan syarat qoth’i, kedua belah pihak boleh menyepakati dibiarkannya buah atau padi hingga layak petik. An-Nawawi berkata:

قَالَ أَصْحَابنَا : وَلَوْ شَرَطَ الْقَطْع ثُمَّ لَمْ يَقْطَع فَالْبَيْع صَحِيح وَيَلْزَمهُ الْبَائِع بِالْقَطْعِ ، فَإِنْ تَرَاضَيَا عَلَى إِبْقَائِهِ جَازَ (شرح النووي على مسلم)

Jika penjualan dilakukan dengan syarat tabqiyah, maka ulama sepakat tidak memperbolehkan. Dan jika penjualan dilakukan tanpa syarat, maka menurut hanafiah diperbolehkan dan menurut malikiyah, syafi’iyah dan hanabilah tidak diperbolehkan. Disamping hanafiah ada pula beberapa ulama yang memperbolehkan diantaranya adalah: Awza’iy dan al-Bukhory seperti telah saya singgung di atas.

Argumentasi yang diajukan ulama yang memperbolehkan adalah hadis mu’allaq dan hadis nomer 2052 dari shohih bukhory di atas. Dalam hadis mu’allaq larangan jual-beli buah sebelum masak tidak bersifat tegas dan karenanya hukumnya tidak sampai haram.  Sedangkan hadis nomer 2052 mengisyaratkan diperbolehkannya jual beli tersebut. Sebab dalam hadis tersebut di katakan bahwa barangsiapa yang menjual pohon kurma setelah dikawinkan maka buahnya menjadi milik penjual kecuali ada perjanjian buah menjadi milik pembeli. Dan jika dalam kasus jual pohon kurma buah bisa menjadi milik pembeli dengan adanya perjanjian, berarti buah bisa dimiliki pembeli dengan transaksi terpisah.

Sedangkan argumentasi yang melarang adalah hadis nomer 2044 yang secara tegas melarang jual-beli buah sebelum masak. Dan hadis ini tidak mencakup larangan jual-beli buah sebelum masak dengan syarat qoth’I, sebab sebagaimana disebutkan dalam hadis 2048 pelarangan ini dilatarbelakangi kekhawatiran terjadinya gagal panen sebelum sampai ke tangan pembeli. Dan dengan dipanen sebelum waktunya (qoth’u) maka kekhawatiran tersebut hilang, dan karenanya jual beli diperbolehkan.

Pendapat paling tasamuh adalahpendapat Ibnu Abidin al-Hanafy yang memperbolehkan jual beli buah atau tanaman secara mutlak, baik dengan atau tanpa syarat; sebelum atau sesudah matang (buduwus sholah). Sebab syarat yang tidak berlaku jika sesuai adat yang berlaku maka syarat menjadi berlaku. Mengutip Ibnu Abidin az-Zuhayly dalam Fiqhul Islam berkata:

ورجح ابن عابدين في رسالته نشر العرف جوازه بيع الثمار مطلقاً قبل بدو الصلاح أو بعده إذا جرى العرف بترك ذلك؛ لأن الشرط الفاسد إذا جرى به العرف صار صحيحاً ويصح العقد معه استحساناً (الفقه الإسلامس وأدلته)

Cara menghitung jumlah

Seperti telah saya sebutkan di atas bahwa salah satu kemungkinan tidak sahnya jual beli tebasan adalah tidak diketahuinya jumlah barang yang dijual. Dalam hal jual tebasan barang yang dijual tidak harus diketahui secara pasti dengan cara ditimbang, tetapi boleh diketahui dengan cara taksiran. Muslim meriwayatkan :

2833 – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ فَقَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يَأْكُلَ مِنْهُ أَوْ يُؤْكَلَ وَحَتَّى يُوزَنَ قَالَ فَقُلْتُ مَا يُوزَنُ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْزَرَ ( مسلم )

An-Naway mengomentari hadis tersebut dengan mengatakan :

وَأَمَّا تَفْسِيره يُوزَن بَيَحْزُرَ فَظَاهِر ، لِأَنَّ الْحَزْر طَرِيق إِلَى مَعْرِفَة قَدْره وَكَذَا الْوَزْن (شرح النووي على مسلم)

Kemungkinan Terjadinya Riba atau Muzabanah

Menurut Syafi’iy, termasuk muzabanah adalah menjual barang yang tidak diketahui jumlahnya dengan barang yang juga tidak diketahui atau dengan barang sejenis yang diketahui jumlahnya dan berlaku hukum riba di dalamnya. Sedangkan menurut Malik muzabanah mencakup hal yang lebih luas yaitu, setiap barang yang dijual tanpa takaran dengan barang sejenis yang ditakar, baik berlaku riba di dalamnya atau tidak.

Berdasarkan hal tersebut, muzabanah bisa terjadi dalam jual tebasan. Salah satu bentuknya adalah, jika tanaman padi yang jumalhnya diketahui berdasarkan taksiran dibarter dengan gabah atau beras dalam takaran yang pasti.

Tanggung Jawab Perawatan dan Resiko

Dalam hal penjualan dilakukan dengan syarat tabqiyah atau tanpa syarat, maka penjual berkewajiban merawat hingga saatnya panen. An-Nawawy berkata:

ثُمَّ إِذَا بِيعَتْ بِشَرْطِ التَّبْقِيَة أَوْ مُطْلَقًا يَلْزَم الْبَائِع بِسِقَايَتِهَا إِلَى أَوَان الْجُذَاذ لِأَنَّ ذَلِكَ هُوَ الْعَادَة فِيهَا (شرح النووي على مسلم)

Dan jika terjadi gagal penen karena alam maka menurut qoul jadid Syafi’iy dan Abu Hanifah resiko ditanggung pembeli. Sebab buah ataupun padi sudah menjadi milik pembeli ketika rusak. Dan menurut Malik resiko ditanggung penjual. Sedankan menurut Ahmad, jika kurang dari sepertiga maka resiko ditanggung pembeli.

Kewajiban Zakat

Jika tanaman atau buah yang dijual wajib zakat, maka menurut malikiyah dan hanabilah jika penjualan dilakukan setelah matang (buduwwus sholah) maka yang wajib mengeluarkan zakat adalah penjual. Dan menurut Hanafiah, jika penjualan dilakukan setelah masa panen, maka zakat menjadi kewajiban penjual. Sedangkan menurut Syafi’iyyah, kewajiban zakat bergantung kapan waktu kewajiban zakat itu terjadi. Jika waktu kewajiban zakat terjadi sebelum penjualan, maka zakat dikeluarkan oleh penjual dan jika waktu kewajiban terjadi setelah penjualan, maka yang mengeluarkan zakat adalah pembeli.

Kesimpulan

Hukum jual beli tebasan adalah khilaf. Jika kita mengikuti pendapat yang memperbolehkan, dan saya mengikuti pendapat yang memperbolehkan, maka harus diperhatikan hal-hal berikut:

  1. Untuk menghindari riba atau muzabanah maka jual tebas tidak boleh dilakukan dengan cara barter dengan komoditas sejenis. Seperti penebasan padi dibayar dengan gabah atau beras dalam satuan kilogram.
  2. Selama menunggu masa panen, maka perawatan menjadi tanggung jawab penjual.
  3. Jika terjadi puso, maka seluruh uang harus dikembalikan kepada pembeli sesuai dengan hadis nomer 2048
  4. Menurut saya zakat menjadi kewajiban penjual. Sebab dalam jual tebasan penjualan dilakukan dengan menaksir hasil saat panen, dan bukan dengan menghitung nilai tanaman pada saat penjualan. Sehingga meskipun proses nama’  terjadi di tangan pembeli, namun pada dasarnya keuntungan nama’ dimiliki oleh penjual.

Wallahua’lamu bishowab©2010


[1] Satu transaksi tetapi mengandung dua maksud transaksi. Dalam hal ini transaksi eksplisitnya adalah jual-beli. Disamping jual-beli transaksi ini juga menganduk maksud transaksi lain yaitu pinjam-meminjam atau sewa-menyewa.

[2] Dalam transaksi ini dimugnkinkan tengkulak mensyaratkan, barang yang dibeli harus dibiarkan di tempatnya hingga layak petik. Dengan demikian terjadi jual beli dengan persyaratan yang menguntunkan tengkulak, yaitu keuntungan memanfaatkan tanah bahkan perawatan dari pihak penjual.


Tinggalkan Pesan