Home » Tafsir » Analisa Asbab al-Nuzul Al-Wahidi dan Al-Suyuṭi Pada Al-Nur 3 dan Al-Furqan 68-70

Analisa Asbab al-Nuzul Al-Wahidi dan Al-Suyuṭi Pada Al-Nur 3 dan Al-Furqan 68-70

I. Pendahuluan

Memahami al-Qur’an tidak cukup hanya dengan mengandalkan penguasaan bahasa Arab, apalagi hanya dengan bekal terjemah. Dibutuhkan banyak piranti untuk dapat memahami al-Qur’an dengan benar agar tidak terjatuh dalam penafsiran yang arbriter. Salah satu piranti yang dibutuhkan dalam memahami al-Qur’an adalah asbāb al-nuzūl. Ibnu Daqīq al-‘Īd berkata, “Penjelasan sabab Nuzūl adalah jalan yang kuat untuk memahami al-Qur’an”[1]. Sementara al-Wāhidī menjelaskan, “tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu ayat tanpa mengacu pada kisah ayat tersebut dan penjelasan turunnya.”[2]. Sedangkan Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa “mengetahui sabab Nuzuūl dapat membantu memahami al-Qur’an. Sebab, mengetahui ‘sebab’ dapat melahirkan pengetahuan tentang ‘akibat’”[3]. Karena itu tidak mengherankan jika para ulama mencurahkan perhatiannya pada ilmu asbāb al-nuzūl, baik dalam kitab yang secara spesifik membahas asbāb al-nuzūl ataupun terselip di antara pembahasan kitab tafsir.

Di samping itu asbāb al-nuzūl merupakan konteks situasi yang dapat menentukan makna teks. Tanpa memahami konteks, pemahaman terhadap teks dapat mengalami distorsi. Dengan mengetahui asbāb al-nuzūl, kemugkinan terjadinya distorsi pemahaman dapat dikurangi, bahkan dihilangkan. Sebab, seperti dikatakan al-Shāṭibī, mengetahui asbāb al-nuzūl sama artinya dengan mengetahui konteks situasi[4].

Di antara kitab yang secara khusus membahas asbāb al-nuzūl adalah Asbāb al-Nuzūl karya al-Wāhidī dan Lubāb al-Nuqūl karya Jalaluddin al-Suyūṭī. Dua karya ini termasuk kitab utama di bidang asbāb al-nuzūl dan banyak menjadi rujukan. Oleh karena itu sangat layak jika kedua kitab ini menjadi obyek kajian.

Makalah ini akan menganalisa asbāb al-nuzūl Al-Nūr 3 dan Al-Furqān 68-70 versi al-Wāhidī dan al-Suyūṭī. Pertama-tama akan ditelusuri asbāb al-nuzūl kedua ayat dimaksud. Jika ditemukan, asbāb al-nuzūl akan dicarikan pembandingnya dari kitab-kitab tafsir atau hadis. Perbandingan tersebut dimaksudkan untuk memverifikasi tingkat keterpercayaan sumber informasi dan akurasi kandungan informasi asbāb al-nuzūl versi al-Wāhidī dan al-Suyūṭī. Riwayat al-Wāhidī dan al-Suyūṭī yang telah terverifikasi, kemudian akan diuji kesesuaiannya dengan kriteria asbāb al-nuzūl. Dari riwayat yang telah terverifikasi dan teruji, akan dilakukan analisa implikasi asbāb al-nuzūl terhadap pemahaman ayat terkait. Wa Allah al-Must’ān.

II. Kerangka Konseptual

A. Pengertian dan Parameter Asbāb al-Nuzūl

Secara etimologis asbāb al-nuzūl terdiri dua kata, yaitu asbāb dan al-nuzūl. Asbāb merupakan bentuk plural dari sabab yang berarti sesuatu yang menimbulkan hal lain. Al-nuzūl artinya adalah turun. Yang dimaksud “turun” dalam hal ini adalah turunyya ayat. Jadi secara etimologis asbāb al-nuzūl artinya sesuatu yang menimbulkan turunnya ayat.

Secara terminologis al-Suyūṭī menyebut asbāb al-nuzūl sebagai “… peristiwa di mana suatu ayat turun pada saat-saat peristiwa itu terjadi”[5]. Dengan redaksi yang hampir sama Mannā’ al-Qaṭṭān mendefinisikannya sebagai “… peristiwa di mana al-Qur`an turun terkait dan pada saat-saat terjadinya peristiwa tersebut”[6]. Sedangkan al-Zurqānī menjelaskan bahwa pengertian asbāb al-nuzūl adalah “… peristiwa di mana ayat atau beberapa ayat turun membicarakan atau  menerangkan hukum peristiwa tersebut pada saat-saat peristiwa itu terjadi”[7].

Ada dua hal yang perlu digaris-bawahi dari ketiga definisi di atas. Pertama, al-Suyūṭī tidak menjelaskan secara eksplisit hubungan antara peristiwa dan turunya ayat selain mengemukakan adanya kebersamaan waktu antara keduaya. Artinya, suatu ayat turun bersamaan waktu dengan terjadinya peristiwa. Berbeda dengan al-Suyūṭī, al-Qaṭṭān menyebut adanya keterkaitan antara peristiwa dengan turunya ayat, bukan sekedar kebersamaan waktu. Keterkaitan itu lebih nyata pada deinisi al-Zurqānī yang secara eksplisit menjelaskan bahwa turunya ayat merupakan respon atas suatu peristiwa. Redaksi al-Suyūṭī memang tidak dimaksudkan untuk mendefinisikan asbāb al-nuzūl secara utuh, tetapi untuk “… mengecualikan apa yang dikemukakan al-Wāḥidī dalam surat al-Fīl bahwa sebab turunya adalah kisah kedatangan Habashah. Hal itu sama sekali tidak termasuk asbāb al-nuzūl, melainkan informasi tentang peristiwa masa lalu …”[8].

Kedua, asbāb al-nuzūl mensyaratkan adanya kebersamaan waktu antara turunya ayat dan terjadinya peristiwa. Kebersamaan waktu bukan berarti turunya ayat merupakan respon seketika setelah suatu peristiwa terjadi. Bisa juga terdapat jeda waktu antara turunnya ayat dengan peristiwa, tetapi masih pada batas aktual. Karena itu ketiga definisi di atas menggunakan redaksi, “pada saat-saat peristiwa itu terjadi” (أيام وقوعه). Dengan kata lain turunya ayat merupakan respon aktual, meskipun tidak seketika, atas terjadinya peristiwa.

Dari penuturan di atas dapat disimpulkan bahwa asbāb al-nuzūl adalah suatu peristiwa yang memicu turunya ayat atau beberapa ayat sebagai respon aktual atas peristiwa tersebut. Sebagai sebuah respon tentu kandungan ayat berada dalam konteks pembicaraan yang sama dengan peristiwa yang memicunya. Dengan demikian asbāb al-nuzūl juga meniscayakan adanya keselarasan konteks pembicaraan antara kandungan ayat dan peristiwa.

Dengan demikian ada tiga syarat yang harus terpenuhi dalam asbāb al-nuzūl yaitu:

  1. Turunnya ayat merupakan respon atas terjadinya suatu peristiwa
  2. Kebersamaan waktu antara peristiwa dan turunya ayat
  3. Keselarasan konteks pembicaraan antara peristiwa dan kandungan ayat

B. Pengaruh Asbāb al-Nuzūl Terhadap Pemaknaan Ayat

1. Asbāb al-nuzūl Sebagai Pembatas Makna Ayat

Seperti dikemukakan di atas bahwa asbāb al-nuzūl merupakan konteks situasi yang dapat menentukan makna teks. Dalam kasus asbāb al-nuzūl menjadi konteks situasi yang menentukan makna, maka pemahaman ayat tidak bisa dilepaskan dari konteks. Asbāb al-nuzūl dan ayat terkait menjadi satu kesatuan yang kemudian melahirkan makna yang utuh. “Jika sebagian konteks hilang, maka pemahaman atas keseluruhan atau sebagian teks juga hilang”[9].

Oleh karena itu asbāb al-nuzūl dapat membatasi maksud ayat, meskipun redaksi ayat itu sendiri bersifat general. Misalnya ayat:

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (آل عمران: 188)

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang  telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.[10]

Kata الَّذِينَ merupakan isim mawsūl yang menunjuk makna general[11]. Dengan demikian kata الَّذِينَ mencakup semua orang yang memiliki sifat-sifat yang disebut setelah الَّذِينَ . Dengan menggunakan redaksi general, maka ayat tersebut bermakna, “… setiap orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji …”. Pemaknaan general ini menjanggalkan Marwan Bin Hakam.  Kejanggalan itu dijawab Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut tidak membicarakan orang-orang Islam, melainkan orang-orang Yahudi. Tentang hal tersebut al-Bukhārī menceritakan:

… أَنَّ مَرْوَانَ قَالَ لِبَوَّابِهِ: اذْهَبْ يَا رَافِعُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقُلْ: لَئِنْ كَانَ كُلُّ امْرِئٍ فَرِحَ بِمَا أُوتِيَ، وَأَحَبَّ أَنْ يُحْمَدَ بِمَا لَمْ يَفْعَلْ مُعَذَّبًا، لَنُعَذَّبَنَّ أَجْمَعُونَ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: وَمَا لَكُمْ وَلِهَذِهِ «إِنَّمَا دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهُودَ فَسَأَلَهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَكَتَمُوهُ إِيَّاهُ، وَأَخْبَرُوهُ بِغَيْرِهِ فَأَرَوْهُ أَنْ قَدِ اسْتَحْمَدُوا إِلَيْهِ، بِمَا أَخْبَرُوهُ عَنْهُ فِيمَا سَأَلَهُمْ، وَفَرِحُوا بِمَا أُوتُوا مِنْ كِتْمَانِهِمْ» ، ثُمَّ قَرَأَ ابْنُ عَبَّاسٍ: {وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ} [آل عمران: 187] كَذَلِكَ حَتَّى قَوْلِهِ: {يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا} [آل عمران: 188] …[12]

… Marwan berkata kepada penjaganya, “Hai Rafi’, datanglah kepada Ibnu Abbas dan katakan, ‘Jika setiap orang yang senang dengan apa yang diperolehnya dan senang dipuji atas apa yang tidak dilakukannya akan disiksa, maka kita semua akan disiksa’”. Ibnu Abbas menjawab, “Ada apa kamu dengan (ayat) ini? Sesungguhnya Nabi menyeru kepada orang Yahudi lalu menanyakan suatu hal kepada mereka. Tetapi mereka menyembunyikannya dari Nabi, dan memberitahukan hal lain. Lalu mereka menyangka telah dipuji atas apa yang mereka ceritakan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Meraeka juga merasa senang dengan apa yang dilakukannya, yaitu menyembunyikan informasi.”. Kemudian Ibnu Abbas membaca, وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ demikian seterusnya hingga يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا…

Hadis di atas menjelaskan bahwa ayat 188 dari surat Ali Imran yang menggunakan redaksi general dibatasi cakupannya oleh konteks, dalam hal ini adalah sikap culas orang-orang Yahudi. Dengan demikian yang dimaksud dengan kata الَّذِينَ pada ayat di atas bukan “setiap orang”, melainkan “orang-orang Yahudi”. Pemaknaan ini juga didukung oleh konteks kalimat di mana ayat sebelumnya membicarakan tentang ahlul kitab yang menyembunyikan ayat-ayat Allah dalam kitab suci mereka.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kasus tertentu sabab nuzūl dapat membatasi generalitas ayat.

2. Asbāb al-nuzūl Sebagai Penjelas Ayat

Asbāb al-nuzūl sebagai konteks situasi juga dapat berfungsi sebagai penjelas ayat. Tanpa menyertakan asbāb al-nuzūl, ayat bukan saja potensial disalah-pahami seperti pada kasus Ali Imrān: 188, tetapi lebih dari itu ayat tidak mungkin dipahami. Contohnya adalah ayat:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (النساء: 3)

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya[13].

Permulaan ayat merupakan kalimat kondisonal dengan klausa kondisi, “jika kamu takut tidak akan berbuat adil terhadap perempuan yatim” dan klausa konsekwensi, “maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi”. Dalam kalimat kondisional tersebut tampak bahwa kalusa kondisi dan konsekwensi tidak saling terkait.

Al-Suyuṭī mengkategorikan kejanggalan ini ke dalam ayat mutashābih yang disebabkan peringkasan kalimat[14]. Lebih detail al-Zurqānī menjelaskan bahwa ketidak-jelasan maksud ayat tersebut disebabkan oleh ringkasnya kalimat. Susunan asal dari kalimat itu adalah, “jika kalian takut tidak berbuat adil kepada anak yatim ketika kamu menikahinya, maka nikahilah perempuan lain…”[15]. Kejanggalan ini dapat menjadi jelas, jika konteks situasi, dalam hal ini  adalah sabab al-nuzūl, disertakan dalam pemahaman. Al-Bukhāri meriwayatkan:

كَانَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: {وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي اليَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ} [النساء: 3] ، قَالَتْ: هِيَ اليَتِيمَةُ فِي حَجْرِ وَلِيِّهَا، فَيَرْغَبُ فِي جَمَالِهَا وَمَالِهَا، وَيُرِيدُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بِأَدْنَى مِنْ سُنَّةِ نِسَائِهَا، فَنُهُوا عَنْ نِكَاحِهِنَّ، إِلَّا أَنْ يُقْسِطُوا لَهُنَّ فِي إِكْمَالِ الصَّدَاقِ، وَأُمِرُوا بِنِكَاحِ مَنْ سِوَاهُنَّ مِنَ النِّسَاءِ …[16]

Urwah bin Zubair bercerita bahwa ia bertanya Aisyah radliya Allah ‘anha, (tentang ayat) وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي اليَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ . Aisyah berkata: “Ia adalah perempuan yatim yang berada di bawah perwalian dimana si wali terpesona oleh kecantikan dan kekayaan perempuan yatim yang berada di bawah perwaliannya dan bermaksud menikahinya dengan memberikan mas kawin di bawah standar. Lalu mereka dilarang  menikahi perempuan-perempuan yatim itu kecuali mereka bersedia berbuat adil dalam memberikan mas kawin, dan mereka diperintahkan menikahi perempuan lain …”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi tertentu asbāb al-nuzūl menjadi bagian tak terpisahkan dari suatu ayat dalam membentuk pemahaman yang utuh. Tanpa menyertakan asbāb al-nuzūl, ayat menjadi tidak dapat dipahami.

3. Asbāb al-nuzūl Sebagai Momentum Tashri’

Al-Qur`an diturunkan secara bertahap selama 23 Tahun dan karenanya hukum Islam yang didasarkan pada al-Qur`an dan Sunnah juga ditetapkan secara bertahap. Dari sudut pandang kebertahapan, ditetapkannya sebuah hukum adalah keniscayaan, baik didahului sebuah peristiwa atau tidak. Dengan kata lain, terjadinya peristiwa bukan penyebab ditetapkannya sebuah hukum, melainkan hanya momentum yang tepat untuk menetapkan hukum dimaksud. Momentum inilah yang disebut dengan sabab al-Nuzūl yang memicu turunya suatu ayat.

Dalam kasus sabab al-Nuzūl menjadi momentum penetapan hukum, maka berlaku prinsip al-‘ibrah bi umūm al-lafdhi lā bi khuṣūṣ al-sabab. Artinya, meskipun sebuah ayat yang menggunakan redaksi general diturunkan sebagai respon atas peristiwa spesifik, namun hukumnya berlaku general sesuai dengan redaksi ayat tersebut.

Contoh: Bukhari[17],Tirmidhi[18] dan Abu Daud[19] meriwayatkan cerita Ma’qil bin Yasār bahwa ia menikahkan saudara perempuannya dengan seorang lelaki lalu lelaki itu menalaknya. Setelah habis masa iddah ia datang untuk meminangnya kembali. Ma’qil menolak dengan berkata, “Aku telah menikahkanmu dan memuliakanmu lalu kamu menalaknya. Kini kamu datang untuk meminangnya kembali. Demi Allah, tidak!!! Saudara perempuanku tidak akan kembali padamu selama-lamanya”. Lelaki itu tidaklah buruk perangainya dan saudara perempuan Ma’qil sejatinya ingin kembali kepada lelaki itu. Lalu turunlah ayat:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ …(البقرة: 232)

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…[20]

Ayat di atas turun sebagai respon atas keengganan Ma’qil menikahkan saudara perempuannya dengan mantan suaminya. Tetapi hukum ayat tersebut berlaku general, baik bagi Ma’qil maupun orang lain.

Dari penuturan di atas dapat disimpulkan bahwa dari sisi pengaruhnya terhadap pemaknaan ayat, asbāb al-nuzūl dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: asbāb al-nuzūl sebagai pembatas makna, asbāb al-nuzūl sebagai penjelas makna dan asbāb al-nuzūl sebagai momentum tashri’. Dan prinsip al-‘ibrah bi umūm al-lafdhi lā bi khuṣūṣ al-sabab hanya berlaku bagi kategori terakhir.

C. Sumber Pustaka Asbāb al-Nuzūl

Ada tiga jenis sumber pustaka yang mendokumentasikan asbāb al-nuzūl, yaitu: kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadis dan kitab-kitab yang secara spesifik membahas asbāb al-nuzūl.

Beberapa kitab tafsir yang memmasukkan pembahasan asbāb al-nuzūl adalah Tafsir Thabari (w. 310 H), Tafsir Ibnu Abi Hatim (w. 327 H), Tafsir Tha’labi (w. 427 H), Tafsir Ibnu Atiyyah (w. 481 H), Tafsir Baghawi (w. 516 H) dan Tafsir Ibnu Kathir (w. 774 H). Sedangkan beberapa kitab hadis yang mendokumentasikan asbāb al-nuzūl adalah kutub al-Tis’ah.

Di antara kitab klasik yang secara spesifik membahas asbāb al-nuzūl adalah, Tafṣīl li Asbāb al-Nuzūl ‘an Maymūn bin Mahrān karya Maymūn bin Mahrān (w. 117 H), Asbāb al-Nuzūl karya Ali bin al-Madīnī (w. 324 H), al-Qaa wa al-`Asālīb al-Latī Nazala Bihā al-Qur`an karya Muṭarrif al-Andalusī (w. 402 H), Asbāb al-Nuzūl karya al-Wāhidī (w 468 H), Asbāb al-Nuzūl wa al-Qaṣaṣ al-Furqāniyyah karya Muhammad bin As’ad al-‘Iraqi (w. 567 H), Asbāb Nuzūl al-Qur`an karya Ibnu al-Jawzī (w. 597 H), ‘Ajāib al-Nuqūl fi Asbāb al-Nuzūl karya Ibrahim bin Umar al-Ja’bari (w. 732 H), al-‘Ujāb fi Bayān al-`Asbāb karya Ibnu Hajar al-Asqalānī (w. 852 H) dan Lubāb al-Nuqūl karya Jalaluddin al-Suyūṭī (w 911 H).

Sedangkan karya kontemporer yang secara spesifik membahas asbāb al-nuzūl di antranya adalah Tashīl al-Wuṣūl ila Ma’rifat Asbāb al-Nuzūl karya Khalid Abdurrahman al-‘Ikk, Al-Ṣaḥīḥ al-Musnad min Asbāb al-Nuzūl karya Muqbil bin Hadi bin Muqbil, al-Muharrar fi Asbāb Nuzūl al-Qur`an min Khilāl al-Kutub al-Tis’ah karya Khalid bin Sulaiman al-Muzayyini, al-Istī’āb fi Bayān al-Asbāb, karya Salim bin ‘Īd al-Hilāli dan Muhammad bin Musa `Alu Naṣar.

Selain yang tercatat di dalam hadis, penuturan asbāb al-nuzūl ada yang disertai sanad dan ada yang tanpa sanad.

III. Analisa Asbāb al-Nuzūl pada al-Nūr Ayat 3

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ (3)

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin[21]

A. Riwayat Asbāb al-Nuzūl

1. Versi Al-Wāhidī

Al-Wāhidī menuturkan tiga riwayat asbāb al-nuzūl al-Nūr Ayat 3. Yang pertama ia kutip dari ulama tafsir tanpa menyebut secara spesifik ulama mana yang dimaksud. Ia berkata:

قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ إِلَى الْمَدِينَةِ، وَفِيهِمْ فُقَرَاءُ لَيْسَتْ لَهُمْ أَمْوَالٌ، وَبِالْمَدِينَةِ نِسَاءٌ بَغَايَا مُسَافِحَاتٌ، يَكْرِينَ أَنْفُسَهُنَّ، وَهُنَّ يَوْمَئِذٍ أَخْصَبُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فَرَغِبَ فِي كَسْبِهِنَّ نَاسٌ مِنْ فُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا تَزَوَّجْنَا مِنْهُنَّ، فَعِشْنَا مَعَهُنَّ، إِلَى أَنْ يُغْنِيَنَا اللَّهُ تَعَالَى عنهن، فاستأذنوا رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم فِي ذَلِكَ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: وَحُرِّمَ فِيهَا نِكَاحُ الزَّانِيَةِ صِيَانَةً لِلْمُؤْمِنِينَ عَنْ ذَلِكَ[22].

Para penafsir berkata bahwa kaum muhajirin datang ke Madinah dan di antara mereka terdapat beberapa orang miskin yang tidak memiliki harta. Dan di Madinah terdapat beberapa pelacur yang mengkomersialkan dirinya. Pada saat itu kalangan pelacur termasuk kelompok sejahtera. Beberapa orang dari kaum miskin muhajirin tertarik dengan penghasilan pelacur-pelacur tersebut. Mereka berkata, “kalau saja kita menikah dan hidup bersama mereka hingga Allah menjadikan kita tidak lagi butuh kepada mereka”. Merekapun meminta ijin Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam untuk hal tersebut. Lalu turunlah ayat ini dan diharamkan menikahi perempuan pezina untuk melindungi kaum mu’minin dari terjatuh ke dalam perzinaan.

Riwayat kedua dituturkan al-Wāhidī dari Ikrimah tanpa menyebut sanad. Berikut riwayat selengkapnya:

وَقَالَ عِكْرِمَةُ: نَزَلَتِ الْآيَةُ فِي نِسَاءٍ بَغَايَا مُتَعَالِنَاتٍ بِمَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، وَكُنَّ كَثِيرَاتٍ، وَمِنْهُنَّ تِسْعٌ صَوَاحِبُ رَايَاتٍ لَهُنَّ رَايَاتٌ كَرَايَاتِ الْبَيْطَارِ يُعْرَفْنَ بِهَا: أُمُّ مَهْزُولٍ، جَارِيَةُ السَّائِبِ بْنِ أَبِي السَّائِبِ الْمَخْزُومِيِّ، وَأُمُّ عُلَيْطٍ، جَارِيَةُ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ. وَحَنَّةُ الْقِبْطِيَّةُ، جَارِيَةُ الْعَاصِ بْنِ وَائِلٍ، وَمُزْنَةُ جَارِيَةُ مَالِكِ بْنِ عَمِيلَةَ بْنِ السَّبَّاقِ، وَجَلَالَةُ، جَارِيَةُ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو، وَأُمُّ سُوَيْدٍ، جَارِيَةُ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ الْمَخْزُومِيِّ، وَشَرِيفَةُ، جَارِيَةُ زَمْعَةَ بْنِ الْأَسْوَدِ، وَفَرْسَةُ جَارِيَةُ هِشَامِ بْنِ رَبِيعَةَ، وَفَرْتَنَا جَارِيَةُ هِلَالِ بْنِ أَنَسٍ. و كَانَتْ بُيُوتُهُنَّ تُسَمَّى فِي الْجَاهِلِيَّةِ: الْمَوَاخِيرَ، لَا يَدْخُلُ عَلَيْهِنَّ وَلَا يَأْتِيهِنَّ إِلَّا زَانٍ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ، أَوْ مُشْرِكٌ مِنْ أَهْلِ الْأَوْثَانِ، فَأَرَادَ نَاسٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ نِكَاحَهُنَّ لِيَتَّخِذُوهُنَّ مَأْكَلَةً، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذِهِ الْآيَةَ، وَنَهَى الْمُؤْمِنِينَ عَنْ ذَلِكَ، وَحَرَّمَهُ عَلَيْهِمْ[23].

Ikrimah berkata bahwa ayat ini turun pada pelacur-pelacur di Makkah dan Madinah. Terdapat banyak pelacur di antaranya sembilan pelacur yang memasang papan nama seperti papan nama ahli pengobatan agar di ketahui. Kesembilan pelacur itu adalah Ummu Mahzul budak perempuan al-Saib bin abi al-Saib al-Mahzumi, Ummu ‘Ulaith budak perempuan Shofwan bin Umayyah, Hannah al-Qibtiyah budak perempuan al-‘Ash bin Wa’il, Muznah budak perempuan budak perempuan Malin bin Amilah bin al-Sabbaq, Jalalah budak perempuan Suhail bin Amr, Ummu Suwaid budak perempuan Amr bin Utsman al-Mahzumi, Syarifah budak perempuan Zam’ah bin al-Aswad, Farsah budak perempuan Hisyam bin Rabi’ah, dan Fartana budak perempuan Hilal bin Anas. Pada masa jahiliyah rumah-rumah mereka dikenal dengan nama “al-Mawākhīr” (rumah bordil – penulis). Mereka tidak dikunjungi selain oleh pezina dari golongan ahlul kitab atau orang musyrik dari kaum pagan. Beberapa orang dari kaum muslimin bermaksud menikahi pelcaur-pelacur itu untuk menjadikannya sebagai sumber penghidupan. Lalu Allah menurunkan ayat  ini dan melarang mereka melakukan hal tersebut serta mengharamkannya.

Riwayat ketiga dituturkan lengkap dengan sanadnya yang berujung kepada cerita Abdullah bin Amr bin al-Ash. Berikut riwayat selengkapnya:

أَخْبَرَنَا أَبُو صَالِحٍ مَنْصُورُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ الْبَزَّارُ قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو عَمْرِو بْنُ حَمْدَانَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا [أَحْمَدُ] بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بن عرعرة، قال: حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الْحَضْرَمِيِّ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو. أَنَّ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا: أُمُّ مَهْزُولٍ كَانَتْ تُسَافِحُ، وَكَانَتْ تَشْتَرِطُ لِلَّذِي يَتَزَوَّجُهَا أَنْ تَكْفِيَهُ النَّفَقَةَ، وَأَنَّ رَجُلًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، فَذُكِرَ ذلك للنبي صلى اللَّه عليه وسلم، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: الزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ[24]

… Dulu ada seorang perempuan bernama Ummu Mahzul yang melacur dan menjanjikan kecukupan nafkah kepada orang yang menikahinya. Seseorang dari kaum muslimin bermaksud menikahinya. Disampaikanlah maksud itu kepada Nabi Muhammad alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Lalu turunlah ayat: الزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ

Ketiga riwayat di atas memiliki inti cerita yang sama yaitu bahwa seseorang atau beberapa orang bermaksud menikahi pelacur untuk meringankan beban hidup. Maksud tersebut disampaikan kepada Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Lalu turunlah surat al-Nūr ayat 3 yang melarang menikahi pelacur sebagai jawaban atas keinginan mereka.

Untuk memudahkan pembahasan, selanjutnya ketiga riwayat al-Wāhidī masing-masing akan diberi nama sebagai berikut: riwayat I disebut “al-Wāhidī 1”; riwayat II disebut “al-Wāhidī 2” ; dan riwayat III disebut “al-Wāhidī 3”.

2. Versi al-Suyūṭī

Al-Suyūṭī menyebutkan dua riwayat terkait sebab turunnya al-Nūr ayat 3. Riwayat pertama disandarkan pada hadis Nasa’iy dari Abdullah bin Amr bin al-Ash. Riwayat ini memiliki inti cerita yang sama dengan al-Wāhidī 632. Perbedaannya, riwayat al-Suyūṭī tidak menyebutkan alasan menikahi pelacur. Berikut riwayat selengkapnya:

أخرج النسائي عن عبد الله ابن عمرو قال كانت امرأة يقال لها أم مهزول وكانت تسافح فأراد رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم أن يتزوجها فأنزل الله والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنين[25]

… ada seorang perempuan bernama Ummu Mahzul yang melacur. Seseorang dari sahabat Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam bermaksud menikahinya. Lalu Allah menurunkan ayat: والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنين

Riwayat kedua disandarkan pada hadis Abu Dawud, Al-Tirmīdhī, Al-Nasā`iy dan Ḥākim yang kesemuanya juga berujung kepada cerita Abdullah bin Amr bin al-‘Ash. Inti cerita riwayat ini sama dengan riwayat pertama. Perbedaannya terletak pada detail cerita, termasuk penyebutan nama sahabat yang bermaksud enikahi pelacur. Berikut riwayat selengkapnya:

وأخرج أبو داود والترمذي والنسائي والحاكم من حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال كان رجل يقال له مزيد[sic!] يحمل من الأنبار إلى مكة حتى يأتيهم وكانت امرأة بمكة صديقة له يقال لها عناق فاستأذن النبي صلى الله عليه وسلم أن ينكحها فلم يرد عليه شيئا حتى نزلت الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة الآية فقال رسول الله صلى الله عيه وسلم يا مزيد الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة الآية فلا تنكحها[26]

… ada seorang laki-laki yang bernama Mazyad [sic!] yang bekerja mengangkut barang dari Anbar menuju Makkah hingga sampai kepada mereka (pemiliknya – penulis). Dan di Makkah terdapat perempuan yang menjadi kekasihnya bernama ‘Anaq. Mazyad meminta ijin Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam untuk menikahinya. Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam tidak menjawabnya hingga kemudian turun ayat:… الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة kemudian Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam membaca ayat, “الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة الآية” dan bersabda, “karena itu jangan nikahi dia”.

Untuk memudahkan pembahasan, selanjutnya kedua riwayat al-Suyūṭī akan disebut dengan “al-Suyūṭī 1” dan “al-Suyūṭī 2”.

Dari penuturan al-Wāhidī dan al-Suyūṭī diperoleh lima riwayat yang memiliki inti cerita yang sama, yaitu bahwa ada seorang atau beberapa orang sahabat yang bermaksud menikahi pelacur, lalu turunlah surat al-Nūr ayat 3 yang melarang pernikahan dengan pezina. Tetapi masing-masing riwayat memiliki detail cerita yang berbeda.

Al-Wāhidī 1 menggambarkan kondisi ekonomi para sahabat muhajirin yang miskin dan para pelacur yang kaya. Al-Wāhidī 1 juga menyebutkan adanya motovasi ekonomi yang melatar-belakangi keinginan sebagian sahabat menikahi pelacur-pelacur tersebut. Nama-nama pelacur tersebut terekam dalam detail cerita al-Wāhidī 2. Termasuk di antara nama-nama tersebut adalah Ummu Mahzul yang disebut dalam riwayat lain. Al-Wāhidī 2 juga menyinggung motivasi ekonomi. Secara kesplisit al-Wāhidī 3 al-Suyūṭī 1 menyebut nama pelacur dimaksud, yaitu Ummu Mahzul dan hanya ada seorang, bukan beberapa orang, sahabat yang bermaksud menikahi pelacur. Tetapi kedua riwayat ini tidak menyinggung motivasi ekonomi. Nama sahabat yang menjadi tokoh cerita disebut secara eksplisit dalam al-Suyūṭī 2, yaitu bernama mazyad. Sedangkan tokoh perempuannya bernama ‘Anaq, bukan Ummu Mahzul seperti dalam al-Wāhidī 3 dan al-Suyūṭī 1.

Terkait waktu dan tempat kejadian, secara implisit al-Wāhidī 1 menyebutnya setelah hijrah dan di Madinah. Tetapi al-Suyūṭī 2 mengindikasikan seolah-olah peristiw itu terjadi di Makkah.

B. Verifikasi Riwayat

Riwayat al-Wāhidī 1 dikutip dari pendapat ulama tafsir. Untuk melacaknya diperlukan kitab tafsir yang lebih tua dari masa al-Wāhidī. Dalam hal ini penulis mencoba melacaknya dari Tafsir Thabari, Ibnu Abi Hatim dan Tsa’labi. Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim ditemukan riwayat yang redaksi dan detail ceritanya mirip dengan riwayat al-Wāhidī 1. Ibnu Abi Hatim menuturkannya dengan sanad yang berujung pada Muqatil bin Hayyan (w. Sebelum 150 H), seorang tabi’it tabi’in. Berikut sanad Ibnu Abi hatim:

قَرَأْتُ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْفَضْلِ بْنِ مُوسَى، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ علي بن الحسن ابن شَقِيقٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُزَاحِمٍ، ثنا بُكَيْرُ بْنُ مَعْرُوفٍ، عن مقاتل ابن حَيَّانَ …[27]

Riwayat Ibnu Abi Hatim lebih panjang dari riwayat al-Wāhidī 1. Di samping kesamaan inti cerita, yaitu pernikahan dengan pelacur, juga terdapat kesamaan detail cerita dalam tiga hal. Pertama, mengenai implilkasi waktu dan tempat kejadian. Ibnu Abi Hatim menuturkan:

… لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ، قَدِمُوهَا وَهُمْ بِجَهْدٍ، إلا قليل مِنْهُمْ، وَالْمَدِينَةُ غَالِيَةُ السِّعْرِ، شَدِيدَةُ الْجَهْدِ، الْخَيْرُ بِهَا قَلِيلٌ …[28]

Ketika sahabat muhajirin datang ke Madinah, mereka dalam kondsi payah (miskin – penulis) keculi sebagian kecil. Dan Madinah saat itu, harga-harga mahal, kehidupan sangat susah, dan kehidupan yang baik menjadi barang langka…

Kutipan di atas sekaligus menyatakan kesamaan detail kedua, yaitu kondisi sahabat muhajirin yang miskin. Tentang kesamaan detail ketiga, yaitu kondisi para pelacur yang hidup sejahtera, Ibnu Abi Hatim menuturkan:

… وَكُنَّ مِنْ أَخْصَبِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَأَكْثَرِهِ خَيْرًا …[29]

… Dan mereka (para pelacur – penulis) termasuk di antara penduduk madinah yang berkehidupan sejahtera …

Dengan demikian riwayat al-Wāhidī 1 dapat disandarkan pada riwayat Ibnu Abi Hatim. Riwayat Ibnu Abi Hatim sendiri tidak menyebutkan sekurang-kurangnya dua periwayat di atasnya, yaitu periwayat dari generasi tabi’in dan sahabat.

Riwayat al-Wāhidī 2 juga ditemukan dalam Tafsir Tsa’labi dengan cerita dan redaksi yang nyaris persis. Sebagaimana al-Wāhidī 2, Tsa’labi juga hanya menyebutkan, “Ikrimah berkata” tanpa menyertakan sanad[30]. Riwayat ini terputus di awal dan akhir mata rantai periwayat. Sebab, baik al-Wāhidī maupun Tsa’labi tidak menyebtukan mata rantai yang menyambungkannya dengan Ikrimah dan sekurang-kurangnya terdapat satu periwayat di atas Ikrimah yang tidak disebut, yaitu periwayat dari generasi sahabat.

Riwayat al-Wāhidī 3 dari sudut sanad sama dengan al-Suyūṭī 1. Sebab riwayat al-Suyūṭī 1 yang memang disandarkan pada Al-Nasā`iy di temukan dalam al-Sunan al-Kubrā dengan sanad sebagi berikut:

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الْحَضْرَمِيِّ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو …[31]

Dengan demikian riwayat al-Wāhidī 1 bertemu sanad dengan riwayat Al-Nasā`iy pada al-Mu’tamir bin Sulaiman. Sanad yang sama juga ditemukan dalam riwayat al-Ḥākim sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيهُ، أَنا أَبُو الْمُثَنَّى، نا مُسَدَّدٌ نا الْمُعْتَمِرُ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: ثنا الْحَضْرَمِيُّ بْنُ لَاحِقٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو …[32]

Bahkan riwayat Al-Ḥākim juga menyebutkan motivasi ekonomi sebagaimana riwyat al-Wāhidī 3. Dan menurut komentar al-Dhahabi riwayat Al-Ḥākim bernilai saḥīḥ.

Berdasarkan penuturan di atas, maka muatan cerita al-Wāhidī 3 dan al-Suyūṭī 1 bernilai sahih berdasarkan penilaian al-Dhahabi.

Seperti disebutkan di atas riwayat al-Suyūṭī 2 dituturkan Al-Tirmīdhī, Abu Dawud, Al-Nasā`iy dan Al-Ḥākim. Keempat riwayat bertemu sanadnya pada Ubaidullah bin al-Akhnas dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya. Yang dimaksud kakeknya adalah kakek buyut Amr bin Syuaib, yaitu Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dari generasi sahabat. Al-Tirmīdhī memberikan nilai hasan pada hadis yang diriwayatkannya. Sementara al-Dhahabi memberikan nilai sahih pada hadis yang diriwayatkan al-Ḥākim. Berikut riwayat selengkapnya:

  1. Al-Tirmīdzī

حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الأَخْنَسِ قَالَ: أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: كَانَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: مَرْثَدُ بْنُ أَبِي مَرْثَدٍ، وَكَانَ رَجُلًا يَحْمِلُ الأَسْرَى مِنْ مَكَّةَ حَتَّى يَأْتِيَ بِهِمُ المَدِينَةَ، قَالَ: وَكَانَتْ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ بِمَكَّةَ يُقَالُ لَهَا: عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيقَةً لَهُ، وَإِنَّهُ كَانَ وَعَدَ رَجُلًا مِنْ أُسَارَى مَكَّةَ يَحْمِلُهُ، قَالَ: فَجِئْتُ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى ظِلِّ حَائِطٍ مِنْ حَوَائِطِ مَكَّةَ فِي لَيْلَةٍ مُقْمِرَةٍ، قَالَ: فَجَاءَتْ عَنَاقٌ فَأَبْصَرَتْ سَوَادَ ظِلِّي بِجَنْبِ  الحَائِطِ فَلَمَّا انْتَهَتْ إِلَيَّ عَرَفَتْ، فَقَالَتْ: مَرْثَدٌ؟ فَقُلْتُ: مَرْثَدٌ. فَقَالَتْ: مَرْحَبًا وَأَهْلًا هَلُمَّ فَبِتْ عِنْدَنَا اللَّيْلَةَ. قَالَ: قُلْتُ: يَا عَنَاقُ حَرَّمَ اللَّهُ الزِّنَا، قَالَتْ: يَا أَهْلَ الخِيَامِ، هَذَا الرَّجُلُ يَحْمِلُ أُسَرَاءَكُمْ، قَالَ: فَتَبِعَنِي ثَمَانِيَةٌ وَسَلَكْتُ الخَنْدَمَةَ فَانْتَهَيْتُ إِلَى كَهْفٍ أَوْ غَارٍ فَدَخَلْتُ، فَجَاءُوا حَتَّى قَامُوا عَلَى رَأْسِي فَبَالُوا فَظَلَّ بَوْلُهُمْ عَلَى رَأْسِي وَعَمَّاهُمُ اللَّهُ عَنِّي، قَالَ: ثُمَّ رَجَعُوا وَرَجَعْتُ إِلَى صَاحِبِي فَحَمَلْتُهُ وَكَانَ رَجُلًا ثَقِيلًا حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى الإِذْخِرِ، فَفَكَكْتُ عَنْهُ أَكْبُلَهُ فَجَعَلْتُ أَحْمِلُهُ وَيُعْيِينِي حَتَّى قَدِمْتُ المَدِينَةَ، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنْكِحُ عَنَاقًا؟ فَأَمْسَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ شَيْئًا حَتَّى نَزَلَتْ الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا مَرْثَدُ الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ، فَلَا تَنْكِحْهَا» : «هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الوَجْهِ»[33]

2. Abu Dawud

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ التَّيْمِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَخْنَسِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ، وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا: عَنَاقُ وَكَانَتْ صَدِيقَتَهُ، قَالَ: جِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنْكِحُ عَنَاقَ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّي، فَنَزَلَتْ: {وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ} [النور: 3] فَدَعَانِي فَقَرَأَهَا عَلَيَّ وَقَالَ: «لَا تَنْكِحْهَا»[34]

3. Al-Nasā`iy

أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ التَّيْمِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى هُوَ ابْنُ سَعِيدٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَخْنَسِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ، وَكَانَ رَجُلًا شَدِيدًا، وَكَانَ يَحْمِلُ الْأُسَارَى مِنْ مَكَّةَ، إِلَى الْمَدِينَةِ، قَالَ: فَدَعَوْتُ رَجُلًا لِأَحْمِلَهُ، وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا: عَنَاقُ، وَكَانَتْ صَدِيقَتَهُ، خَرَجَتْ فَرَأَتْ سَوَادِي فِي ظِلِّ الْحَائِطِ، فَقَالَتْ: مَنْ هَذَا مَرْثَدٌ، مَرْحَبًا وَأَهْلًا يَا مَرْثَدُ، انْطَلِقِ اللَّيْلَةَ فَبِتْ عِنْدَنَا فِي الرَّحْلِ، قُلْتُ: يَا عَنَاقُ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَرَّمَ الزِّنَا، قَالَتْ: يَا أَهْلَ الْخِيَامِ، هَذَا الدُّلْدُلُ، هَذَا الَّذِي يَحْمِلُ أُسَرَاءَكُمْ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَسَلَكْتُ الْخَنْدَمَةَ، فَطَلَبَنِي ثَمَانِيَةٌ، فَجَاءُوا حَتَّى قَامُوا عَلَى رَأْسِي، فَبَالُوا، فَطَارَ بَوْلُهُمْ عَلَيَّ، وَأَعْمَاهُمُ اللَّهُ عَنِّي، فَجِئْتُ إِلَى صَاحِبِي، فَحَمَلْتُهُ، فَلَمَّا انْتَهَيْتُ بِهِ إِلَى الْأَرَاكِ، فَكَكْتُ عَنْهُ كَبْلَهُ، فَجِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنْكِحُ عَنَاقَ، فَسَكَتَ عَنِّي، فَنَزَلَتْ: {الزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ} [النور: 3] ، فَدَعَانِي، فَقَرَأَهَا عَلَيَّ وَقَالَ: «لَا تَنْكِحْهَا»[35]

4. Al-Ḥākim

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، أَنْبَأَ أَبُو الْمُثَنَّى، ثنا مُسَدَّدٌ، ثنا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الْأَخْنَسِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَانَ يَحْمِلُ الْأُسَارَى بِمَكَّةَ، وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ، يُقَالُ لَهَا عَنَاقُ، وَكَانَتْ صَدِيقَتَهُ، قَالَ: فَجِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنْكِحُ عَنَاقَ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّي، فَنَزَلَتْ: {الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً، وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ، وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ} [النور: 3] فَقَرَأَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: «لَا تَنْكِحْهَا» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ “[36]

Dari sisi kandungan cerita, terdapat dua perbedaan signifikan antara riwyat Suyūṭī 2 dengan keempat riwayat yang menjadi sumber sandarannya. Pertama, perbedaan nama tokoh sahabat. Suyūṭī 2 menyebutnya Mazyad. Sedangkan riwayat Al-Tirmīdhī, Abu Dawud, Nas`iy dan Al-Ḥākim menyebutnya Marthad bin Abi Marthad.

Kedua, riwayat Suyūṭī 2 menyebutkan perjalanan Marthad dimulai dari Anbar menuju Makkah. Hal ini mengindikasikan seolah-olah peristiwa itu terjadi di Makkah. Sementara keempat riwayat menyebutkan bahwa Makkah merupakan awal perjalanan. Bahkan riwayat Al-Tirmīdhī dan Al-Nasā`iy secara eksplisit menyebutkan perjalanan dari Makkah menuju Madinah.

Dari penuturan di atas dapat disimpulkan, secara kesuluruhan riwyat Suyūṭī 2 sekurang-kurangnya memiliki tingkat keterpercayaan yang dapat diterima dengan penyesuaian detail cerita terkait nama tokoh sahabat dan rute perjalanan tokoh tersebut.

Dengan demikian dari lima riwayat di atas tiga di antaranya dapat dijadikan sebagai dasar analisa asbab al-nuzūl, yaitu riwyat al-Wāhidī 3, al-Suyūṭī 1 dan al-Suyūṭī 2. Riwayat al-Wāhidī 3 dan al-Suyūṭī 1 memiliki kesamaan cerita dan dikuatkan oleh Hadis al-Ḥākim yang bernilai sahih menurut al-Dhahabi. Riwayat al-Suyūṭī 2 dengan penyesuaian dikuatkan oleh hadis Al-Tirmīdhī, Abu Dawud, Al-Nasā`iy dan al-Ḥākim yang sekurang-kurangnya bernilai hasan. Ketiga riwayat ini seluruhnya berujung kepada informasi Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dari generasi sahabat Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam.

Dengan mempertimbangkan kesatuan sumber informasi, dua bersi riwayat di atas dapat dipadukan dengan redaksi sebagai berikut. Marthad bin Abi Marthad, seorang sahabat Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam, bekerja sebagai pembawa tawanan dari Makkah ke Madinah. Ia memiliki seorang kekasih bernama Anaq, disebut juga Ummu Mahzul. Anaq adalah seorang pelacur yang siap menanggung nafkah siapa saja yang mengawininya. Suatu hari Marthad datang ke Makkah untuk membawa tawanan ke Makkah. Anaq mengetahui itu dan menemuinya. Lalu anaq mengajak Marthad untuk bermalam di rumahnya. Tetapi Marthad menolak dan menjawab bahwa Zina haram. Seusai membawa tawanan dari Makkah ke Madinah Marthad menghadap Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam untuk meminta ijin mengawini Anaq. Rasulullah terdiam dan tidak menjawab permintaan itu. Lalu turunlah ayat:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ (3)

Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam segera memanggil Marthad dan membacakan ayat tersebut. Lalu Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam bersabda kepada Anaq, “janganlah kamu menikahinya”.

C. Kesesuaian Riwayat dengan Kriteria Asbāb al-Nuzūl

Seperti dijelaskan di atas sebuah peristiwa dapat dijadikan sabab al-Nuzūl jika memenuhi tiga kriteria, yaitu keselarasan konteks pembicaraan, kebersamaan waktu, dan turunnya ayat merupakan respon atas peristiwa tersebut.

Dari segi konteks pembicaraan, kisah Marthad bertutur tentang keinginan menikahi pelacur dan ayat yang turun berbicara tentang larangan menikah dengan pezina. Dari segi kebersamaan waktu, jarak antara turunya ayat dengan kisah Marthad masih terbilang dalam satu rangkaian waktu. Hal itu ditunjukkan dengan redaksi hadis yang menggunakan huruf athaf fa’ untuk menyambungkan permintaan ijin marthad dengan turunya ayat. Dengan kata lain, turunnya ayat terjadi segera setelah permintaan ijin Marthad. Turunya ayat juga merupakan respon atas kisah Marthad di mana kandungan ayat berisi jawaban atas permintaan ijin Marthad untuk menikahi pelacur.

Dengan demikian kisah Marthad telah memenuhi kriteria sebagai sabab al-nuzūl dari al-Nūr ayat 3.

D. Implikasi Sabab al-Nuzūl terhadap Pemahaman surat al-Nūr ayat 3

Berdasarkan sabab al-nuzūl di atas surat al-Nūr ayat 3 diturunkan di Madinah dan setelah hijrah. Turunnya ayat tersebut merupakan jawaban atas perminttan ijin Marthad bin Abi Marthad al-Ghanawy untuk menikahi seorang pelacur. Meskipun diturunkan untuk merespon kisah Marthad, tetapi hukum ayat tersebut berlaku umum, baik bagi Marthad atau orang lain, baik karena alasan ekonomi atau alasan lain. Dalam hal ini berlaku prinsip al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafdhi lā bi khuṣūṣ al-sabab.

Sabab al-nuzūl di atas juga memastikan bahwa kata nikāḥ pada ayat tersebut bermkana akad bukan bersetubuh. Secara etimologis nikāḥ memang bisa berarti akad dan bersetubuh. Oleh karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah, seorang pezina laki-laki ketika berzina tidak menzinai selain pezina muslimah atau pezina musyrikah. Dengan demikian ayat tersebut tidak berbicara tentang larangan menikahi pezina. Tetapi kata-kata Marthad, “bolehkah aku menikahinya?” dan sabda Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam, “janganlah kamu menikahinya” dalam konteks kisah Marthad memastikan bahwa nikāḥ pada ayat teresbut tidak mungkin diartikan bersetubuh, dan hanya mungkin diartikan akad.

Penolakan Marthad terhadap ajakan berzina dari `Anaq dengan mengatakan, “Allah telah mengharamkan zina” menurut versi Al-Tirmīdhī atau, “Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam telah mengharamkan zina” menurut versi Naza`iy, mengindikasikan bahwa zina telah dilarang sebelum ayat ini turun. Dengan demikian, sabab al-nuzūl memberikan petunjuk bahwa ayat ini turun setelah dihramkannya zina.

Sabab al-nuzūl di atas juga memberikan petunjuk tentang situasi sosial saat mana ayat diturunkan. Permintaan ijin Marthad untuk menikahi pelacur mengindikasikan bahwa menikahi pelacur bukan hal tabu baginya. Marthad bukan satu-satunya sahabat yang melakukan itu. Berdasarkan riwayat al-Wāhidī 1 dan 2 banyak sahabat lain yang bermaksud menikahi para pelacur untuk menumpang hidup. Meskipun kedua riwayat ini tidak cukup kuat untuk menafsirkan ayat, tetapi dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang kehidupan sosial pada masa itu. Dan turunnya ayat ini yang melarang, atau sekurang-kurangnya mengecam, pernikahan dengan pelacur, memunculkan norma baru di kalangan umat Islam yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari norma sosial sebelumnya.

Dari penuturan di atas dapat disimpulkan 5 implikasi sabab al-nuzūl sebagai berikut:

  1. Ayat 3 dari surat al-Nūr turun di Madinah dan setelah Hijrah
  2. Hukum larangan menikahi pezina berlaku umum sesuai prinsip al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafdhi lā bi khuṣūṣ al-sabab
  3. Nikāḥ pada ayat ini bermakna akad, bukan bersetubuh, sesuai konteks sabab al-nuzūl
  4. Zina telah diharamkan sebelum turunyya ayat ini
  5. Ayat ini mengajarkan norma baru yang menabukan pernikahan dengan pelacur

IV. Analisa Asbāb al-Nuzūl pada al-Furqān 68-70

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70)

68.  Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya),

69.  (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina,

70.  Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[37]

A. Riwayat Asbāb al-nuzūl

1. Versi al-Wāhidī

Ada tiga riwayat yang disebutkan al-Wāhidī. Riwayat pertama dikisahkan dengan sanad al-Wāhidī sendiri dari Ibnu Abbas dan didukung hadis Muslim. Selanjutnya riwayat al-Wāhidī berikut ini disebut al-Wāhidī 1:

أَخْبَرَنَا أَبُو إِسْحَاقَ الثَّعَالِبِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْمَخْلَدِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الْمُؤَمَّلُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عِيسَى، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يَعْلَى بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الشِّرْكِ قَتَلُوا فَأَكْثَرُوا، وَزَنَوْا فَأَكْثَرُوا، ثُمَّ أتوا محمداً صلى اللَّه عليه وسلم فَقَالُوا: إِنَّ الَّذِي تَقُولُ وَتَدْعُو إِلَيْهِ لَحَسَنٌ لَوْ تُخْبِرُنَا أَنَّ لِمَا عَمِلْنَا كَفَّارَةً. فَنَزَلَتْ: وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ … الْآيَاتِ إِلَى قَوْلِهِ: غَفُورًا رَحِيمًا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ حَجَّاجٍ.[38]

… Beberapa orang dari kalangan orang-orang musyrik melakukan pembunuhan dan membiasakannya, melakukan perzinaan dan membiasakannya. Mereka mendatangi Nabi Muhammad alla Allah ‘Alaihy wa Sallam dan berkata, “sesungguhnya apa yang kamu katakan dan serukan baik. Katakanlah kepada kami bahwa ada penebus atas apa yang kami perbuat. Lalu turunlah ayat

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ … الْآيَاتِ

hingga

…غَفُورًا رَحِيمًا

Riwayat kedua dikisahkan dengan sanad al-Wāhidī sendiri dari Ibnu Mas’ud dan didukung riwyat Bukhari dan Muslim. Selanjutnya riwayat al-Wāhidī berikut ini disebut al-Wāhidī 2:

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إبراهيم بن يَحْيَى الْمُزَكِّي، قَالَ: حَدَّثَنَا وَالِدِي، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ الْحَنْظَلِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ، قَالَا: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مَنْصُورٍ وَالْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُرَحْبِيلَ، عَنْ أَبِي مَيْسَرَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: سَأَلْتُ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ مَخَافَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى تَصْدِيقًا لِذَلِكَ: وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ [عَنْ مُسَدَّدٍ عَنْ يَحْيَى] وَمُسْلِمٌ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، عَنْ جَرِيرٍ[39].

… Aku (Ibnu Mas’ud – penulis) bertanya kepada Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam, “Dosa apakah yang paling besar”. Ia menjawab, “menjadikan sekutu bagi Tuhan padahal ia yang menciptakanmu”. Aku berkata, “Lalu dosa apa lagi?”. Ia menjawab, “membunuh anakmu karena khawatir ia akan makan bersamamu”. Aku berkata, “lalu dosa apa lagi?”. Ia menjawab, “berzina dengan istri tetanggamu”. Lalu Allah menurunkan ayat sebagai pembenar atas jawaban tersebut:

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ

Riwayat ketiga diturukan dengan sanad al-Wāhidī sendiri dari Ibnu Abbas tanpa menyebutkan hadis pendukung. Selanjutnya riwayat al-Wāhidī berikut ini disebut al-Wāhidī 3:

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَارِثِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَارِثُ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو رَاشِدٍ مَوْلَى اللِّهْبِيِّينَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَالِمٍ الْقَدَّاحِ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: أَتَى وَحْشِيٌّ إلى النبي صلى اللَّه عليه وسلم، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَتَيْتُكَ مُسْتَجِيرًا فَأَجِرْنِي حَتَّى أَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ. فَقَالَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم: قَدْ كُنْتُ أُحِبُّ أَنْ أَرَاكَ عَلَى غَيْرِ جِوَارٍ، فَأَمَّا إِذْ أَتَيْتَنِي مُسْتَجِيرًا فَأَنْتَ فِي جِوَارِي حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ. قَالَ: فَإِنِّي أَشْرَكْتُ بِاللَّهِ، وَقَتَلْتُ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ تَعَالَى، وَزَنَيْتُ، هَلْ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنِّي تَوْبَةً؟ فَصَمَتَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم حتى نزلت: وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ. فَتَلَاهَا عَلَيْهِ، فَقَالَ: أَرَى شَرْطًا، فَلَعَلِّي لَا أَعْمَلُ صَالِحًا، أَنَا فِي جِوَارِكَ حَتَّى أَسْمَعَ كلام اللَّه تعالى. فَنَزَلَتْ: إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ فَدَعَا بِهِ فَتَلَاهَا عَلَيْهِ، فَقَالَ: وَلَعَلِّي مِمَّنْ لَا يَشَاءُ، أَنَا فِي جِوَارِكَ حَتَّى أَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ. فنزلت: قُلْ يا عِبادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ، فَقَالَ: نَعَمْ، الْآنَ لَا أَرَى شَرْطًا، فَأَسْلَمَ.[40]

Wahsyi (pembunuh Hamzah paman Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam – penulis) datang kepada Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Ia berkata, “Hai Muhammad, aku datang kepadamu meminta perlindungan, maka lindungilah kami hingga aku mendengar firman Allah”. Rasulullah bersabda, sungguh aku berharap tidak melihatmu di sampingku. adapun ketika kamu mendatangiku meminta perlindungan, maka kamu berada di sampingku hingga kamu mendenagar firman Allah”. Wahsyi bertanya, “Sungguh aku telah menyekutukan Allah, membunuh orang yang diharamkan Allah dan berzina. Apakah Allah akan menerima taubatku?”. Rasulullah terdiam hingga turun ayat

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ … الْآيَةِ (الفرقان:68-70)

Wahsyi berkata, “aku melihat ada syarat. Bisa jadi aku tidak beramal salih (sebagaimana disebutkan al-Furqan 70 – penulis). Aku di sampingmu hingga mendengar firman Allah. Lalu turunlah ayat:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ (النساء: 48)

Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam memanggil dan membacakan ayat tersebut kepadanya. Wahsyi berkata, “Bisa jadi aku tidak termasuk orang yang dikehendaki Allah”. Aku di sampngmu hingga mendengar firman Allah. Lalu turunlah ayat:

قُلْ يا عِبادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ (الزمر:53)

Lalu Wahsyi berkata, “ya, sekarang aku tidak melihat ada syarat” dan ia pun masuk Islam

2. Versi al-Suyūṭī

Al-Suyūṭī juga menyebutkan tiga riwayat. Riwayat pertama disandarkan pada hadis Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud dengan kandungan cerita yang sama dengan riwayat al-Wāhidī 2. Selanjutnya riwayat al-Suyūṭī berikut ini disebut al-Suyūṭī 2:

وأخرج الشيخان عن ابن مسعود قال سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الذنب أعظم قال أن تجعل لله ندا وهو خلقك قلت ثم أي قال أن تقتل ولدك مخافة أن يطعم معك قلت ثم أي قال أن تزاني حليلة جارك فأنزل الله تصديقها والذين لا يدعون مع الله إلها آخر ولا يقتلون النفس التي حرم الله إلا بالحق ولا يزنون[41]

Riwayat kedua juga disandarkan pada hadis Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dengan kandungan cerita yang sama dengan riwayat al-Wāhidī 1. Selanjutnya riwayat al-Suyūṭī berikut disebut al-Suyūṭī 2:

وأخرج الشيخان عن ابن عباس أن ناسا من أهل الشرك قتلوا فأكثروا وزنوا فأكثروا ثم أتوا محمدا صلى الله عليه وسلم فقالوا ان الذي تقول وتدعو إليه لحسن لو تخبرنا أن لما عملنا كفارة فنزلت والذين لا يدعون مع الله إلها آخر إلى قوله غفورا رحيما ونزل قل يا عبادي الذين أسرفوا الآية [الزمر: 53][42]

Riwayat ketiga disandarkan pada hadis Bukhari dan hadis lain dari Ibnu Abbas dengan kandungan cerita yang berbeda dari semua riwayat al-Wāhidī maupun riwayat al-Suyūṭī yang lain. Selanjutnya riwayat al-Suyūṭī berikut disebut al-Suyūṭī 3:

وأخرج البخاري وغيره عن ابن عباس قال لما أنزلت في الفرقان والذين لا يدعون مع الله إلها آخر ولا يقتلون النفس التي الآية قال مشركو أهل مكة قد قتلنا النفس بغير حق ودعونا مع الله ألها آخر وأتينا الفواحش فنزلت إلا من تاب الآية[43]

… Ketika turun surat al-Furqān :

والذين لا يدعون مع الله إلها آخر ولا يقتلون النفس التي … الآية

orang-orang musyrik Makkah berkata, “sunggguh kami telah membunuh orang secara ilegal, menyembah tuhan lain di samping Allah dan melakukan zina lalu turunlah ayat:

إلا من تاب … الآية

Dari penuturan di atas dapat disimpulkan, terdapat empat versi sabab al-nuzūl sebagai berikut:

  1. Ayat 68-70, surat al-Furqān turun sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrik Makkah, apakah dosa syirik, membunuh dan berzina dapat diampuni atau ditebus. Versi ini disebutkan dalam al-Wāhidī 1 dan al-Suyūṭī 2.
  2. Ayat 68, surat al-Furqān turun sebagai pembenar atas jawaban Nabi seputar dosa-dosa besar. Versi ini disebutkan riwayat al-Wāhidī 2 dan al-Suyūṭī 1.
  3. Ayat 68-70, surat al-Furqān turun sebagai jawaban atas keinginan Wahsyi, pembunuh Hamzah paman Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam,  bertaubat. Versi ini disebutkan riwayat al-Wāhidī 3.
  4. Setelah turun ayat 68, surat al-Furqān, kaum musyrik Makkah mengatakan bahwa mereka telah melakukan dosa-dosa sebagaimana disebut ayat 68. Lalu turunlah ayat 70. Versi ini disebutkan al-Suyūṭī 3.

B. Verifikasi Riwayat.

Berdsarkan informasi di atas, 5 dari 6 riwayat sabab al-nuzūl ayat 68-70, surat al-Furqān disandarkan pada hadis Bukhari dan Muslim. Riwayat al-Wāhidī 1 dan al-Suyūṭī 2 ditemukan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī sebagaimana berikut:

حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ، أَنَّ ابْنَ جُرَيْجٍ، أَخْبَرَهُمْ قَالَ يَعْلَى: إِنَّ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ أَخْبَرَهُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ نَاسًا، مِنْ أَهْلِ الشِّرْكِ كَانُوا قَدْ قَتَلُوا وَأَكْثَرُوا، وَزَنَوْا وَأَكْثَرُوا، فَأَتَوْا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: إِنَّ الَّذِي تَقُولُ وَتَدْعُو إِلَيْهِ لَحَسَنٌ، لَوْ تُخْبِرُنَا أَنَّ لِمَا عَمِلْنَا كَفَّارَةً فَنَزَلَ: {وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ، وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَلاَ يَزْنُونَ} [الفرقان: 68] وَنَزَلَتْ {قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ، لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ} [الزمر: 53][44]

dan dalam Ṣaḥīḥ Muslim sebagaimana berikut:

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ مَيْمُونٍ، وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ دِينَارٍ، وَاللَّفْظُ لِإِبْرَاهِيمَ، قَالَا: حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يَعْلَى بْنُ مُسْلِمٍ أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الشِّرْكِ قَتَلُوا فَأَكْثَرُوا، وَزَنَوْا فَأَكْثَرُوا، ثُمَّ أَتَوْا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: إِنَّ الَّذِي تَقُولُ وَتَدْعُو لَحَسَنٌ، وَلَوْ تُخْبِرُنَا أَنَّ لِمَا عَمِلْنَا كَفَّارَةً، فَنَزَلَ: {وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا} [الفرقان: 68] وَنَزَلَ {يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ} [الزمر: 53][45]

Sanad Muslim di atas persis dengan apa yang disebutkan al-Wāhidī, yaitu dari Ibrahim bin Dinar dari Hajjaj.

Baik hadis Bukhari maupun Muslim memiliki kandungan cerita yang sama dengan riwayat al-Wāhidī 1 dan al-Suyūṭī 2. Perbedaan yang patut dicatat adalah bahwa hadis Bukhari dan Muslim hanya menyebutkan al-Furqān ayat 68 sedangkan al-Wāhidī 1 dan al-Suyūṭī 2 menyebutkan hingga ayat 70.

Riwayat al-Wāhidī 2 dan al-Suyūṭī 1 ditemukan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī sebagaimana berikut:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَنْصُورٌ، وَسُلَيْمَانُ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ أَبِي مَيْسَرَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، ح قَالَ: وَحَدَّثَنِي وَاصِلٌ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَأَلْتُ – أَوْ سُئِلَ – رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الذَّنْبِ عِنْدَ اللَّهِ أَكْبَرُ، قَالَ: «أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ» قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «ثُمَّ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ» قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «أَنْ تُزَانِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ» قَالَ: وَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ تَصْدِيقًا لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ} [الفرقان: 68][46]

dan dalam Ṣaḥīḥ Muslim sebagaimana berikut:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ جَمِيعًا عَنْ جَرِيرٍ، قَالَ عُثْمَانُ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُرَحْبِيلَ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللهِ، قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَكْبَرُ عِنْدَ اللهِ؟ قَالَ: «أَنْ تَدْعُوَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ» قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ مَخَافَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ» قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ» فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ تَصْدِيقَهَا: {وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا} [الفرقان: 68][47]

Sanad Bukhari dan Muslim di atas persis dengan apa yang disebutkan al-Wāhidī 2, yaitu: Bukhari dari Musaddad dari Yahya dan Muslim dari Utsman bin Abi Syaibah dari Jarir.

Kedua hadis di atas memiliki kandungan cerita yang sama dengan al-Wāhidī 2 dan al-Suyūṭī 1. Sedikit perbedaan yang tidak menggangu adalah bahwa redaksi hadis Bukhari mengindikasikan adanya keragu-raguan perawi (shakk min al-rāwī) tentang siapakah yang bertanya kepada Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Hadis Muslim secara pasti menyebutkan bahwa penanya bukan Ibnu Mas’ud. Sedangkan al-Wāhidī 2 dan al-Suyūṭī 1 menyebutkan bahwa penanya adalah Ibnu Mas’ud, penutur kisah itu sendiri. Tetapi perbedaan ini tidak prinsipil dalam konteks pemahaman asbāb al-nuzūl.

Riwayat al-Suyūṭī 3 ditemukan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، أَوْ قَالَ: حَدَّثَنِي الحَكَمُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: أَمَرَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبْزَى، قَالَ: سَلْ ابْنَ عَبَّاسٍ، عَنْ هَاتَيْنِ الآيَتَيْنِ مَا أَمْرُهُمَا {وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ} [الأنعام: 151] ، {وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا} [النساء: 93] فَسَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ: ” لَمَّا أُنْزِلَتِ الَّتِي فِي الفُرْقَانِ، قَالَ: مُشْرِكُو أَهْلِ مَكَّةَ: فَقَدْ قَتَلْنَا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ، وَدَعَوْنَا [ص:46] مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ، وَقَدْ أَتَيْنَا الفَوَاحِشَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ}. الآيَةَ، فَهَذِهِ لِأُولَئِكَ، وَأَمَّا الَّتِي فِي النِّسَاءِ: الرَّجُلُ إِذَا عَرَفَ الإِسْلاَمَ وَشَرَائِعَهُ، ثُمَّ قَتَلَ فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ “، فَذَكَرْتُهُ لِمُجَاهِدٍ فَقَالَ: «إِلَّا مَنْ نَدِمَ»[48]

Ṣabab al-nuzūl senada juga ditemukan dalam Ṣaḥīḥ Muslim dengan redaksi sebagai berikut:

حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللهِ، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ اللَّيْثِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ يَعْنِي شَيْبَانَ، عَنْ مَنْصُورِ بْنِ الْمُعْتَمِرِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: ” نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ بِمَكَّةَ: {وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ} [الفرقان: 68] إِلَى قَوْلِهِ: {مُهَانًا} [الفرقان: 69] فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: وَمَا يُغْنِي عَنَّا الْإِسْلَامُ، وَقَدْ عَدَلْنَا بِاللهِ، وَقَدْ قَتَلْنَا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ، وَأَتَيْنَا الْفَوَاحِشَ؟ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا} [الفرقان: 70] إِلَى آخِرِ الْآيَةِ، قَالَ: «فَأَمَّا مَنْ دَخَلَ فِي الْإِسْلَامِ وَعَقَلَهُ، ثُمَّ قَتَلَ، فَلَا تَوْبَةَ لَهُ»[49]

Tidak terdapat perbedaan berarti antara al-Suyūṭī 3 dengan hadis Bukhari maupun Muslim. Semuanya menyatakan bahwa kegundahan kaum Musyrik atas ketidak-pastian diterimanya taubat mereka memicu turunnya ayat 70, surat al-Furqān.

Riwayat al-Wāhidī 3 disinggung al-Suyūṭī ketika menjelaskan sabab al-Nuzūl al-Zumar 53[50]. Menurutnya sabab al-nuzūl yang menyinggung nama Wahsyi juga diriwayatkan Thabarani dengan sanad yang mengandung kelemahan. Berikut redaksi Thabarani:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَلِيٍّ الْأَبَّارُ، ثنا إِسْحَاقُ بْنُ الْأَرْكُونِ، ثنا أَبْيَنُ بْنُ سُفْيَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى وَحْشِيٍّ قَاتَلِ حَمْزَةَ يَدْعُوهُ إِلَى الْإِسْلَامِ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ: يَا مُحَمَّدُ، كَيْفَ تَدْعُونِي إِلَى دِينِكَ، وَأَنْتَ تَزْعُمُ أَنَّ مَنْ قَتَلَ أَوْ أَشْرَكَ أَوْ زَنَا يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفُ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيَخْلُدُ فِيهِ مُهَانًا، وَأَنَا قَدْ صَنَعْتُ ذَلِكَ؟ فَهَلْ تَجِدُ لِي مِنْ رُخْصَةٍ؟ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ {إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمُ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا} [الفرقان: 70] ، فَقَالَ وَحْشِيٌّ: يَا مُحَمَّدُ، هَذَا شَرْطٌ شَدِيدٌ إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا، فَلَعَلِّي لَا أَقْدِرُ عَلَى هَذَا، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ {إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ} [النساء: 48] ، فَقَالَ وَحْشِيٌّ: يَا مُحَمَّدُ أَرَى بَعْدَ مشيئةٍ فَلَا أَدْرِي يُغْفَرُ لِي أَمْ لَا فَهَلْ غَيْرُ هَذَا؟ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ {يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ} [الزمر: 53] “، قَالَ وَحْشِيٌّ: هَذَا فَجَاءَ فَأَسْلَمَ، فَقَالَ النَّاسُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِذَا أَصَبْنَا مَا أَصَابَ وَحْشِيٌّ، قَالَ: «هِيَ لِلْمُسْلِمِينَ عَامَّةً»[51]

Tentang kelemahan sanad Thabarani di atas, Abu al-Hasan al-Haythami dalam Majma’ al-Zawā`id mengutip al-Dhahabi yang mengatakan bahwa Abyan bin Sufyan lemah.[52] Memang, sanad al-Wāhidī 3 berbeda dari sanad Thabarani di atas. Tetapi sanad al-Wāhidī termasuk sanad yang sulit dilacak. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan kelemahan sanad Thabarani di atas, maka riwayat al-Wāhidī 3 akan diabaikan.

Dengan demikian, dari enam riwayat lima diantaranya memiliki tingkat keterpercayaan sanad yang dapat diterima. Setelah dilakukan penyesuaian, kelima riwayat tersebut dapat disimpulkan menjadi tiga versi asbāb al-nuzūl sebagai berikut:

  1. Beberapa orang dari kalangan orang-orang musyrik melakukan pembunuhan dan membiasakannya, melakukan perzinaan dan membiasakannya. Mereka mendatangi Nabi Muhammad alla Allah ‘Alaihy wa Sallam dan berkata, “sesungguhnya apa yang kamu katakan dan serukan baik. Katakanlah kepada kami bahwa ada penebus atas kemusyrikan, pembunuhan dan perzinaan yang kami perbuat. Lalu turunlah ayat 68 dan bukan 68-70, surat al-Furqān. Selanjutnya disebut versi 1.
  2. Ibnu Mas’ud atau orang lain bertanya kepada Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam, “Dosa apakah yang paling besar”. Ia menjawab, “menjadikan sekutu bagi Tuhan padahal ia yang menciptakanmu”. “Lalu dosa apa lagi?”. Ia menjawab, “membunuh anakmu karena khawatir ia akan makan bersamamu”. “lalu dosa apa lagi?”. Ia menjawab, “berzina dengan istri tetanggamu”. Lalu Allah menurunkan ayat 68, surat al-Furqān sebagai pembenar atas jawaban Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam tersebut. Selanjutnya disebut versi 2.
  3. Setelah turun ayat 68, surat al-Furqān, kaum musyrik Makkah berkata, “sunggguh kami telah membunuh orang secara ilegal, menyembah tuhan lain di samping Allah dan melakukan zina. Masih bergunakan aku masuk Islam?”. lalu turunlah ayat 70. Selanjutnya disebut versi 3.

C. Kesesuaian Riwayat dengan Kriteria Asbāb al-Nuzūl

Di antara ketiga versi di atas, versi 1 memiliki kelemahan terkait keselarasan konteks pembicaraan. Sabab al-Nuzūl versi 1 berbicara tentang kemungkinan diterimanya taubat orang-orang yang telah melakukan dosa syirik, berzina dan membunuh. Tetapi ayat 68 justru membicarakan dosa-dosa itu tanpa menyinggung pertaubatan. Kalaupun ayat yang turun bukan hanya 68, tetapi sampai dengan 70, maka ketidak-selarasan tetap ada. Sebab, seharusnya ayat 68, yang seolah-olah memupus harapan mereka masuk Islam, justru menjadi sumber pertanyaan kaum musyrik Makkah. Sehingga tidak logis jika ayat 68 diturunkan sebagai respon atas kisah sabab al-nuzūl versi 1 yang justru digantungkan keberadaannya pada ayat itu sendiri.

Versi 2 lebih tepat disebut sebagai sabab al-nuzūl ayat 68. Versi 2 yang berkisah tentang jawaban Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam atas pertanyaan seputar dosa-dosa besar berselaras dengan ayat 68 yang menyebutkan tiga dosa besar seperti jawaban Nabi alla Allah ‘Alaihy wa Sallam.

Sedangkan versi 3 ditempatkan sebagai sabab al-nuzūl ayat 70. Menurut Ibnu Abbas sebagaimana dituturkan hadis Muslim di atas, ayat ini turun di Makkah dan orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam, sebagaimana kisah versi 3, adalah orang-orang musyrik Makkah. Sabab al-Nuzūl versi 3 berkisah tentang kemungkinan diampuninya orang-orang yang telah melakukan tiga dosa besar. Ayat 70 menjawab bahwa pelaku tiga dosa besar dapat diampuni dengan bertaubat dan beramal saleh. Berdasarkan kesesuaian itulah, versi 3 layak disebut sebagai sabab al-nuzūl ayat 70.

Dari penuturan di atas, dapat disimpulkan bahwa al-Furqān ayat 68-70 memiliki sabab al-nuzūl yang terpisah. Sabab al-nuzūl ayat 68 adalah versi 2, sedangkan sabab al-nuzūl ayat 70 adalah versi 3.

D. Implikasi Sabab al-Nuzūl terhadap Pemahaman surat al-Furqān ayat 68-70

Berdasarkan kesimpulan di atas, al-Furqān ayat 68-70 turun di Makkah sebeblum Hijrah. Menurut Ibnu Abbas seorang musyrik yang melakukan pembunuhan akan diampuni dosanya sesuai pemahaman ayat 70 yang dirangkaikan dengan sabab al-nuzūl. Tetapi jika seorang muslim, yang telah mengakui dan memahami hukum Islam, melakukan pembunuhan ilegal, maka ia tidak akan diterima taubatnya dan akan abadi di dalam neraka sesuai ayat:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا (النساء:93)

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya[53].

Dengan demikian, menurut Ibnu Abbas sabab al-nuzūl menjelaskan maksud ayat dan tidak bisa dipisahkan darinya. Karena itu dalam ayat 70 berlaku prinsip al-‘Ibrah bi ‘umūm al-sabab la bi khuṣūṣ al-Lafẓi.

Keterpisahan turunya ayat 70 yang berupa kalimat pengecualian (al-istithna`) dari ayat sebelumnya yang menjadi obyek pengecualian (al-mustathna minhu) mengimplikasikan hukum lain. Menurut Ibnu Abbas, seperti dikutip al-Qurtubi dalam tafsirnya, berdsarkan ayat 70 pengecualian dari sebuah sumpah dapat disampaikan secara terpisah dari obyek pengecualiannya[54].

Di samping itu, sabab al-nuzūl di atas memberikan gambaran situasi sosial saat ayat dimaksud diturunkan. Pada saat itu pembunuhan dan perzinaan menjadi hal yang jamak dilakukan khusunya oleh orang-orang musyrik makkah.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan lima implikasi asbāb al-nuzūl, yaitu:

  1. Ayat 68-70, surat al-Furqān diturunkan di Makkah dan sebelum Hijrah.
  2. Pada ayat 70 berlaku prinsip al-‘Ibrah bi ‘umūm al-sabab la bi khuṣūṣ al-Lafẓi
  3. Diperbolehkannya pengecualian sumpah secara terpisah
  4. Gambaran situasi sosial tentang maraknya pembunuhan dan perzinaan khususnya di kalangan musyrik Makkah.

V. Kesimpulan

Dalam kasus sabab al-nuzūl al-Nūr ayat 3 dan al-Furqān ayat 68-70, riwayat al-Wāhidī terhitung variatif dari segi sumber informasi. Dalam dua kasus di atas, al-Wāhidī menggunakan empat model sumber informasi, yaitu:

  1. Mengutip pendapat ulama tafsir secara anonim
  2. Menyebut langsung sumber cerita tanpa sanad
  3. Menyebut sumber cerita dengan sanad yang tidak terputus dan sampai kepada al-Wāhidī langsung.
  4. Sama dengan poin 3 tetapi dengan menyebutkan kitab hadis lain yang memiliki riwayat yang sama.

Al-Wāhidī juga terbilang variatif dari segai versi cerita. Dalam masing-masing kasus, al-Wāhidī menampilkan tiga versi cerita.

Dari segi akurasi sumber informasi, al-Wāhidī tidak cukup selektif dalam menentukan sumber informasi. Dari enam riwayat yang disampaikan, tiga diantaranya sulit diverifikasi keterpercayaan sumber informasinya. Bisa jadi, karya al-Wāhidī memang dimaksudkan sebagai ensiklopedi asbāb al-nuzūl yang memuat seluruh informasi tanpa pemilahan, seperti Mu’jam al-Ṭabarānī yang memuat seluruh informasi hadis dengan seluruh versi sanadnya, atau al-Durar al-Manthūr yang memuat seluruh penafsiran bi al-ma`thūr.

Akurasi kandungan informasi al-Wāhidī cukup baik. Dari tiga riwayat yang dapat diverifikasi, dua di antaranya memang memiliki detail cerita yang berbeda dari sumber informasi lain yang diitunjuknya. Tetapi perbedaan itu tidak signifikan.

Riwayat al-Suyūṭī memiliki karakter yang berbeda dari al-Wāhidī. Lima riwayat Al-Suyūṭī, semuanya disandarkan pada kitab-kitab hadis yang sudah populer. Masing-masing riwayat merupakan versi asbāb al-nuzūl yang berbeda. Dari segi akurasi sumber informasi, al-Suyūṭī cukup selektif. Tetapi akurasi kandungan informasinya tidak cukup baik. Dari 5 riwayat, 3 di antaranya mengandung detail cerita yang berbeda dari kitab hadis yang menjadi sandarannya.

Kedua karya ulama besar tersebut di bidang asbāb al-nuzūl layak, bahkan sangat disarankan, menjadi sumber awal untuk menelusuri asbāb al-nuzūl. Sebab, kedua karya ini memiliki variasi cerita yang cukup lengkap. Di samping itu menulusuri asbāb al-nuzūl dari karya-karya yang secara spesifik membahas hal tersebut lebih mudah dibanding mencarinya dalam kitab-kitab tafsir atau hadis. Jika asbāb al-nuzūl yang dicari ditemukan dalam kedua atau salah satu kitab tersebut, maka langkah selanjutnya adalah melakukan verifikasi, baik dari segi keterpercayaan sumber informasi maupun kandungan cerita. Dan langkah terkahir adalah melakukan analisa kesesuaian asbāb al-nuzūl dengan ayat terkait.©2013.

Bibliografi

al-Bukhārī, Muhammad bin Ismail, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Beirut, Dār Tawq al-Najāh, 1422

Departemen Agama Republik Indonesia,  Al-Qur`an dan Terjemahnya, Bandung, Gema Risalah Press, 1989

Ibnu Abi Hatim, Abu Muhammad Abdurrahman bin Muhammad al-Razi, Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adhīm, Saudi Arabia: Maktabah Nizar Musthafa al-Bāz, 1419 H

al-Ḥākim, Abu Abdillah Muhammad Bin Abdillah bin Muhammad, al-Mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīḥayn, Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990

al-Haythami, Abu al-Hasan Nuruddin Ali bin Abu Bakar, Majma’ al-Zawāid wa Manba’ al-Fawā`id, Cairo,Maktabah al-Qudsy, 1994

al-Nasā`iy, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib, al-Sunan al-Kubrā, Beirut, al-Risālah, 2001

________________, al-Sunan al-Nasā`iy, Alepo, Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmoyyah, 1986

al-Qaṭṭān, Mannā’ bin Khalil, Mabāḥith fi Ulūm al-Qur`an, Riyadl, Maktabat al-Ma’ārif, 2000

al-Qurṭubī, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`ān, Cairo, Dār al-Kutub al-Masriyah, 1964

al-Qushairī, Muslim bin al-Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim, Beirut, Dār Ihyā ` al-Turāts al-‘Arabi, tth

al-Shāṭibī, Ibrahim bin Musa, al-Muwāfaqāt, Cairo, Dār Ibnu ‘Afan, 1997

al-Sijistani, Abu Dawud, Sunan Abi Dāwud, Beirut, Al-‘Aṣriyyah, tth

al-Suyūṭī, Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin,  al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur`an, Cairo, al-Hay`ah al-Maṣriyah al-‘Āmmah, 1974

________________, Lubāb al-Nuqūl fi Asbāb al-Nuzūl, Beirut, Dār al-kutub al-‘Ilmiyyah, tth

al-Thabarāni, Sulaiman bin Ahmad abu al-Qasim, Mu’jam al-Kabīr, Riyadl, Dār al-Ṣumayī, 1994

al-Tha’labī, Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Abu Ishaq, al-Kashfu wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur`ān, Beirut Dār Ihyā` turāth al-‘Arabī, 2002

al-Tirmīdhī, Abu Isa, Sunan al-Tirmīdhī, Cairo, Muṣṭafa al-Bābī al-ḥalabī, 1975

al-Wāhidī, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbāb Nuzūl al-Qur`ān, Beirut, Dā al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H

al-Zurqānī, Muhammad Abd al-‘Adhīm, Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur`an, Cairo, al-Bābī al-Ḥalabī, tth


[1]Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin al-Suyuṭī,  al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur`an, (Cairo: al-Hay`ah al-Maṣriyah al-‘Āmmah, 1974), 1:108.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibrahim bin Musa al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt, (Cairo: Dār Ibnu ‘Afan, 1997), 4:164.

[5] Jalaluddin al-Suyuṭī,  al-Itqān , 1:116.

[6] Mannā’ bin Khalil al-Qaṭṭān, Mabāḥith fi Ulūm al-Qur`an, (Riyadl: Maktabat al-Ma’ārif, 2000), 1:78.

[7] Muhammad Abd al-‘Adhīm al-Zurqānī, Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur`an, (Cairo: al-Bābī al-Ḥalabī, tt), 1:106.

[8] Jalaluddin al-Suyuṭī,  al-Itqān , 1:116.

[9] al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt, 4:164.

[10] Departemen Agama Republik Indonesia,  Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press, 1989), 109.

[11] Jalaluddin al-Suyuṭī,  al-Itqān , 3:48.

[12] Muhammad bin Ismail al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Beirut: Beirut: Dār Tawq al-Najāh, 1422), 6:40-41.

[13] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Terjemahnya, 109.

[14] Jalaluddin al-Suyuṭī,  al-Itqān, 3:11.

[15] al-Zurqānī, Manāhil al-‘Irfān, 2:278-279.

[16] al-Bukhārī, aḥīḥ al-Bukhārī, 4:9.

[17]al-Bukhārī, aḥīḥ al-Bukhārī, 6:29.

[18] Abu Isa al-Tirmīdhī, Sunan al-Tirmīdhī, (Cairo: Muṣṭafa al-Bābī al-ḥalabī, 1975), 5:16.

[19] Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dāwud, (Beirut: Al-‘Aṣriyyah, tth), 2:230.

[20] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Terjemahnya, 56.

[21] Ibid, 543.

[22] Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī, Asbāb Nuzūl al-Qur`ān, (Beirut: Dā al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H), 325.

[23] Ibid.

[24] Ibid, 326.

[25] Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin al-Suyuṭī, Lubāb al-Nuqūl fi Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Dār al-kutub al-‘Ilmiyyah, tth), 138.

[26] Ibid.

[27] Abu Muhammad Abdurrahman bin Muhammad al-Razi Ibnu Abi Hatim, Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adhīm, (Saudi Arabia: Maktabah Nizar Musthafa al-Bāz, 1419 H), 8:2523.

[28] Ibid.

[29] Ibid.

[30]Lihat Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Abu Ishaq al-Tha’labī, al-Kashfu wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur`ān, (Beirut: Dār Ihyā` turāth al-‘Arabī, 2002), 7:65-66

[31] Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib al-Al-Nasā`iy, al-Sunan al-Kubrā, (Beirtu: al-Risālah, 2001), 10:197

[32] Abu Abdillah Muhammad Bin Abdillah bin Muhammad al-Ḥākim, al-Mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīḥayn, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 2:211

[33] Abu Isa al-Tirmīdhī, Sunan al-Tirmīdhī, 5:329.

[34] Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dāwud, 2:220-221.

[35]Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib al-Nasā`iy, al-Sunan al- Nasā`iy, (Alepo: Maktab al-Maṭbū’āt al-Islāmoyyah, 1986),  6:66.

[36] Abu Abdillah al-Ḥākim, al-Mustadrak  2:180

[37] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Terjemahnya, 569.

[38] Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wāhidī, Asbāb Nuzūl al-Qur`ān, 345

[39]Ibid, 345-346

[40] Ibid, 346

[41] Jalaluddin al-Suyuṭī, Lubāb al-Nuqūl fi Asbāb al-Nuzūl, 148

[42] Ibid

[43] Ibid, 149

[44] al-Bukhārī, aḥīḥ al-Bukhārī, 6:125-126.

[45] Muslim bin al-Hajjaj al-Qushairi, Ṣaḥīḥ Muslim, (Beirut: Dār Ihyā ` al-Turāts al-‘Arabi, tth) 1:113.

[46] al-Bukhārī, aḥīḥ al-Bukhārī, 6:109-110.

[47] Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, 1:91.

[48] al-Bukhārī, aḥīḥ al-Bukhārī, 5:45-46.

[49] Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, 4:2318.

[50] Lihat Jalaluddin al-Suyuṭī, Lubāb al-Nuqūl fi Asbāb al-Nuzūl, 169.

[51] Sulaiman bin Ahmad abu al-Qasim al-Thabarani, Mu’jam al-Kabīr, (Riyadl: Dār al-Ṣumayī, 1994), 11:197.

[52] Abu al-Hasan Nuruddin Ali bin Abu Bakar al-Haythami, Majma’ al-Zawāid wa Manba’ al-Fawā`id, (Cairo:Maktabah al-Qudsy, 1994), 7:101

[53] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur`an dan Terjemahnya, 136

[54] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur`ān, (cairo: Dār al-Kutub al-Masriyah, 1964), 13:77.


1 Comment

  1. terimakasih sharenya,,
    asbabunnuzul memang bisa menjadi pelengkap dalam upaya memahami kandungan makna dalam Qur’an. saya jadi terinspirasi untuk ukut menulis blog tentang asbabunnuzul. ini sebagian materi yang sudah di publish kompilasi asbabunnuzul

Tinggalkan Pesan