Home » Renungan » Bantuan Karitatif Tetap Diperlukan

Bantuan Karitatif Tetap Diperlukan

BLSM (bantuan Langsung Sementara Masyarakat) acap dituduh sebagai bagian dari pemiskinan dan tidak mendidik. Sebab, bantuan tersebut justru akan menjadikan masyarakat tergantung pada bantuan pihak lain dan melemahkan etos kerja.

Saya sepakat bahwa masyarakat kita tidak boleh bergantung hidup kepada belas kasih atau iba orang lain. Anas bin Malik bercerita bahwa suatu hari datang seorang ansor kepada Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam untuk meminta-minta. Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam bertanya, “adakah sesuatu di rumahmu?”. Ia menjawab, “ada. tikar yang kami pakai sebagian dan kami gelar sebagian dan gelas yang kemi gunakan untuk minum air”. Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam bersabda, “bawalah keduanya kepadaku”. Lalu ia datang membawa kedua barang itu. Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam mengambilnya dan bersabda, “siapa yang mau mengambil dua barang ini?”. Seseorang berkata, “saya mengambilnya dengan satu dirham”. Rasulullah bersabada, “ siapa yang mau mengambilnya lebih dari satu dirham?”. Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam mengulang ucapan itu dua atau tiga kali. Seseorang berkata, “saya mengambilnya dengan dua dirham”. Kemudian Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam memberikan orang itu kedua barang tersebut dan mengambil dua dirham darinya. Uang dua dirham itupun diberikan kepada orang ansor tadi sembari bersabda, “belilah makanan dengan satu dirham dan berikan kepada keluargamu, dan belilah kapak dengan satu dirham yang lain lalu datanglah kepadaku”. Orang ansor itupun mengikuti perintah Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Kemudian Rasulullah mengambil dan mengikatkan kayu pegangan dengan tangannya sendiri pada kapak tersebut dan berkata, “pergilah mencari kayu dan aku tidak ingin melihatmu selama lima belas hari”. Orang Ansor itu pergi mencari kayu dan menjualnya. Kemudian ia datang kepada Rasulullah dengan membawa 10 dirham. Rasulullah bersabda kepadanya, “sebagian belikan makanan dan sebagian lagi belikan pakaian”. Rasulullah melanjutkan, “ini lebih baik bagimu dari pada kamu datang pada hari kiamat nanti dan di mukamu terdapat noda meminta-minta. Sesunggunya meminta-minta hanya layak bagi orang-orang yang sangat miskin, orang-orang yang terlilit hutang dan orang-orang yang memiliki ‘darah yang menyakitkan’ (yang dimaksud adalah orang yang memiliki tanggungan denda pembunuhan)” (Sunan Ibnu Majah, Daar Ihya` al-Kutub al-Arabiyyah, 2:740, lihat pula Sunan Abi Daud, al-Maktabat al-Ashriyah, 2:120)

Hadis di atas menggambarkan bagaimana Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam memerintahkan, mengajarkan dan membimbing sahabatnya agar memiliki kemandirian hidup dan tidak bergantung kepada orang lain dengan meminta-minta. Bahkan Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam pun tidak memberikan pinjaman lunak sebagai modal kerja. Justru barang-barang orang ansor yang dibutuhkan keluarga diperintahkan untuk dijual sebagai modal. Menurut saya, hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan tanggung jawab pada orang tersebut. Sebab, dengan merasa bahwa yang dipakai modal adalah barang sendiri, maka ia akan memiliki motivasi dan tanggung jawab lebih dalam mengelola modal tersebut.

Namun demikian, tidak semua orang yang meminta harus diperlakukan seperti orang ansor dalam kisah di atas. Adakalanya orang meminta karena memang tidak ada jalan lain selain meminta. Hadis di atas juga menyebutkan ada tiga golongan manusia yang layak meminta-minta. Dalam contoh yang paling ekstrem, ketika ada orang kelaparan yang membutuhkan makanan segera, maka tidak mungkin ia diperintahkan berkerja. Yang ia butuhkan adalah bantuan karitatif instan. Kalau ia diperintahkan bekerja, justru ia akan memperoleh ajal sebelum memperoleh makanan.

Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam pun pernah, bahkan sering, merespon permintaan orang dengan memberikan bantuan segera, bukan dengan menyuruh bekerja. Abu Said al-Khudriy bercerita bahwa orang-orang dari kaum ansor meminta kepada Rasulullah alla Allah ‘Alaihy wa Sallam dan diberi. Mereka datang lagi meminta dan diberi, hingga habis apa yang dimilikinya. Lalu ia bersabda, “harta yang aku miliki tidak akan aku simpan dari kalian. Barangsiapa berusaha bermartabat, maka Allah akan menjadikanya bermartabat, barangsiapa berusaha merasa cukup, maka Allah akan memberikan kecukupan dan barangsiapa berusaha bersabar, maka Allah akan menjadikannya sabar. Seseorang tiada mendapatkan pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran”. (Sahih Bukhori, Daar Tawq al-Najaat, 1422 H., 2:122, lihat pula Sahih Muslim, Daar Ihya` al-Turats al-Arabi, 2:729)

Dengan demikian menyantuni dan membantu fakir-miskin bisa dilakukan dengan cara memberikan bantuan instan atau menumbuhkan tanggung jawab pada orang tersebut atau dengan cara kedua-duanya sekaligus. Harus dipilah-pilah siapa yang layak mendapatkan bantuan instan dan siapa yang harus ditumbuhkan rasa tanggung jawabnya tanpa diberi bantuan instan.

Jadi, tidak bijak menggeneralisir BLSM sebagai biang kemalasan. Bahkan tuduhan ini terasa sangat menyinggung perasaan bagi orang-orang yang benar-benar masuk dalam tiga kategori orang-orang yang berhak meminta. Di sisi lain pemerintah dan semua yang terlibat dalam pembagian, termasuk perangkat desa, harus jeli dalam menentukan, siapakah orang-orang yang berhak menerima BLSM. Memang bukan hal yang mudah metani (memilah) orang-orang yang masuk dalam kategori miskin. Kalaupun terjadi kesalahan identifikasi yang tidak disengaja, maka saya berharap bukan kesalahan yang menafikan bantuan kepada orang miskin, tetapi kesalahan memberikan bantuan kepada orang yang tidak miskin. Tetapi kalau kesalahan itu karena kesengajaan, maka tiada yang patut disematkan kepada oknum tersebut selain kedhaliman yang dikemas dalam kedermawanan.©2013


Tinggalkan Pesan